Mohon tunggu...
Matahari Kecilmu
Matahari Kecilmu Mohon Tunggu... -

Sampai saat ini sangat menyukai Hujan,tapi masih takut-takut dengan petir...he he he.. Hobi sekali nongkrong di pinggir jalan mengamati aktivitas orang-orang, sangat menyukai senja, suka mengobrol dengan cakrawala.. Hobi merenung sendirian sekedar mendengar suara jangkrik berbunyi... Suka napak tilas, karena sangat suka dengan angin.. Suka memandang Rembulan..... Sangat..sangat..menyukai Matahari...... Semangat!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pada Suatu Petang

12 April 2014   03:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau sudah bisa tersenyum sekarang, bola pijar yang menemanimu berjalan, sudah mulai menggelinding ke barat, kesadaranmu sudah mulai pulih, bukan lagi sakit, bukan lagi sesak, atau hancur yang kau bilang dari tadi.

kau melihatnya, kan? Si Senjamu itu sudah datang, yang entah karena apa, atau sejak kapan, kau selalu menyukainya, sangat! Kau suka Jingganya yang menyeruak di barisan awan, suka sekali.

Kau mulai tersenyum sekarang, mulai mengatur nafasmu yang satu-satu, mulai merasakan dingin yang menyeruap di pori-porimu.Kau memandang Senjamu, yang entah sejak kapan kau selalu bilang, bahwa menatap Senja selalu membuatmu nyaman, tenang dan damai, makanya kadang kau rela menjelajahi se-isi kota, bahkan mengunjungi tempat-tempat yang jauh dan melelahkan hanya demi melihat Si Bola Pijar, dan katamu lelahmu akan terbayar lunas, demi dia. Pada bagian itu, aku tak mengerti kenapa kau sebegitunya menyukai Senja.

Kau selalu bilang, kalau kau sangat menyukai Si Bola Pijar itu, Matahari. Katamu, kau belajar banyak sekali dari dia. Bahwa hidup, seperti kau yakini, adalah Bumi yang harus kau perjuangkan sendiri, bukan dari warisan, harta, atau hal busuk lainnya.

Seperti yang kau lihat pada diri Matahari, dalam berotasinya dia selalu sendirian di Langit, tapi diperjalannya dia jumpai banyak hal, awan yang putih, abu-abu, hitam pekat dan yang lainnya, dia jadi saksi atas banyak hal dari sana.

Dia selalu menepati janji. Tak pernah ingkar untuk terbit, meski satu menit, 10 detik, atau 1 detik pun dia selalu datang tepat waktu. Padahal bisa saja dia iseng untuk datang terlambat, misalnya dia terlambat terbit 3 Jam, maka dunia akan bingung, tak tau harus mencarinya kemana di semesta-Nya yang luas.

Dia tepat janji, tak pernah ingkar, sejak kau menyadari itu, kau berusaha mengaplikasikannya di Bumimu, di Hidupmu, apapun yang berkaitan dengan janji atau hal-hal tertentu, kau selalu menepatinya. Kecuali butir demi butir obat yang harus kau minum tiap hari yang sudah kau janjikan dengan doktermu, kadang atau sering? kau melewatinya, tidak menepatinya. kau mulai bosan minum obat. tapi, kita tidak sedang membahas obat demi obat kan?

Katamu, perjalanan Matahari itu seperti perlanan Hidup, kau suka menyebutnya Bumi. Kita harus memulainya dari bawah, seperti Matahari saat terbit. Setelah berjalan, kita akan berada di puncak tertinggi, seperti saat kita kepanasan di tengah hari yang terik. Aku masih ingat itu, tanpa ba-bi-bu, kau memaksaku mendongakkan kepala ke Langit di saat Matahari sedang terik-teriknya. Syukurnya kau memintaku memandang dari balik rimbun dedaunan, yang saat itu kita sedang berteduh sambil minum es campur di kedai biasa. Aku tidak mengerti seleramu, dari sekian pilihan buah atau agar-agar warna-warni kau hanya meminta rumput laut hijau itu dan semangka yang memenuhi mangkukmu. Dan kau menikmatinya dengan gembira. Kau selalu pandai bersyukur, ya!

Lalu kau akan bercerita panjang dan lebar, yang pelan-pelan aku mulai membenarkan apa yang kau ceritakan dan ternyata aku menyukainya. “Li, dengarkan aku” ucapmu sambil terus memasukkan rumput laut ke dalam mulutmu. Kau tak langsung mengunyahnya, tapi kau diamkan selang beberapa detik, kau telan airnya, lalu kau kunyah perlahan, pipi kananmu akan menggembung dengan rumput laut, dan kemudian kau bicara.

“Aku sekarang seperti dia”, kau menunjuk bola pijar itu, aku mengikuti arah telunjukmu, kemudian kau diam…

......


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun