Mohon tunggu...
Matahari Kecilmu
Matahari Kecilmu Mohon Tunggu... -

Sampai saat ini sangat menyukai Hujan,tapi masih takut-takut dengan petir...he he he.. Hobi sekali nongkrong di pinggir jalan mengamati aktivitas orang-orang, sangat menyukai senja, suka mengobrol dengan cakrawala.. Hobi merenung sendirian sekedar mendengar suara jangkrik berbunyi... Suka napak tilas, karena sangat suka dengan angin.. Suka memandang Rembulan..... Sangat..sangat..menyukai Matahari...... Semangat!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pada Suatu Petang

12 April 2014   03:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

...............

Kau menunduk, mengamati ujung sepatumu, barang kali kau berharap kedua matamu bisa menembus isi sepatumu, dan akhirnya kau bisa melihat ujung jemari kakimu. Cukup lama kau tertunduk dan matamu hanya tertuju pada ujung sepatumu saja, tidak yang lain. Sepatu berwarna hitam pemberian seseorang, tapi kali ini kau masih tidak ingin mengingat nama Si Pemberi itu, kan?

Kau pun mendengar irama detak jantungmu yang beradu dengan naik turunnya diagfragma dadamu. Yah...nafasmu tersengal, terengah-engah kau benapas. Tetapi, kau pribadi yang sangat tenang. Kali ini kau pejamkan kedua matamu, kau tidak lagi menunduk. sambil mendengar irama jantungmu yang tidak beraturan, juga nafasmu yang tersengal, kau berusaha untuk memulai menentramkan hatimu yang perih. Sekarang kau biarkan angin menerpa seluruh permukaan kulitmu, yah..meski kau tau, kau akan gampang sekali masuk angin. Sekarang tubuhmu pun semakin rapuh. Seperti hari ini, rapuh, katamu!.

Kau berharap ada angin yang mampu menembus melalu celah pori-porimu, menerobos di setiap lapisan kulitmu, dan akhirnya menyeruap ke jantungmu, mendinginkan semua amarah yang masih..masih..sedang berusaha untuk kau tahan.

Lama kau berdiri memejamkan matamu, ketika detak jantungmu tidak lagi beraturan, kau membuka kedua matamu. Terpaan angin yang kencang juga butir-butir debu merambah matamu, ada pula yang berhasil lolos memasuki jalur pernapasanmu.

Sekarang kau memilih duduk, menyandarkan bahumu pada tubir dinding, kau biarkan kakimu terjulur. Kau goyangkan kedua kakimu tak beraturan, berusaha mengikuti irama jantungmu, kau berharap kepalamu tidak mengajak mengingat apa saja yang sudah kau alamai beberapa menit yang lalu di ruang itu, ketika kau berjumpa para petinggi itu, yang sekarang pun kau berusaha melupakan mereka, sedang berusaha, tapi haruskan di lupakan?. Kau berharap memorimu, atau kau memaksa memorimu tidak mengingat mereka lagi. Apa kau berharap untuk bagian ini?

Kau sebenanya ingin di puncak gunung sekarang, memandang luas awan, juga hijau yang membentang, udara dingin yang segar dan tentunya Senja yang selalu menawan, begitu, kan? Tapi sayangnya kau tidak sedang di puncak gunung, kau sedang di atas gedung, di puncak tertingginya. yang entah karena apa kau memutuskan berlari sekencang-kencangnya mendaki tiap anak tangga yang kau lewati, akhirnya napasmu pun tesengal, tak beraturan.

Semua sudah hancur sekarang, dan..air bening yang bermukim di kelopak matamu pun mulai meluncur, pelan-pelan mengairi kedua pipimu, seperti parit kecil. tapi kau tidak merasakannya.

Lagi-lagi kau bilang, semua sudah hancur sekarang, ada rasa sakit yang tak bisa kau jelaskan yang dari mana datangnya, yang kau sadari semua yang kau bangun sudah hancur, kau menganggapnya demikian, hancur, tidak bersisa dan air matapun turut serta mendramatisasi semua.

Tetapi, tunggu..bukannya kau masih punya sedikit kebahagiaan? benar tidak? hanya sedikit sih..yahh..kau masih punya, meskipun sedikit bukannya kau sangat..sangat sekali menyukainya? dan kau bilang sudah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun