Oleh Amidi
Â
Di berbagai belahan bumi, tidak pernah alfa mengadakan berbagai kegiatan hiburan dalam menyambut tahun baru, terutama kegiatan menyalakan atau menghidupkan kembang api, termasuk di negeri ini.
Tradisi ini sepertinya sudah melekat sejak lama dan sepertinya sulit untuk dirubah atau atau sulit untuk dihentikan. Semua kegiatan dalam menyambut tahun  baru tersebut, sudah menjelma menjadi suatu prilaku yang melekat pada anak bumi termasuk anak negeri ini.
Prilaku Kosumen Detik Tahun Baru.
Prilaku tersebut sudah melekat pada diri anak negeri ini yang menjelma menjadii prilaku anak negeri ini selaku konsumen (baca: prlaku konsumen). Anak negeri ini yang bertindak sebagai konsumen atau pembeli kembang api menarik untuk dicermati.Â
Bila ditilik dar harga kembang api tersebut, tidaklah "murah", artinya mereka harus "merogoh kocek" agak dalam untuk membelinya. Dengan demikian, pembeli kembang api harus memiliki "uang" yang cukup untuk iitu. Jika mereka tidak memeliki uang yang cukup, berarti  mereka harus menyita "jatah kebutuhan lain",  bila mereka "memaksakan diri" untuk tetap membeli kembang api tersebut.
Terlepas dari sejarah kembang api dan negeri yang memproduksi kembang api, yang jelas "tiada hari tahun baru tanpa kembang api". Prilaku konsumen yang memaksakan diri untuk membeli kembang api tersebut, ternyata melanda tidak sedikit konsumen di negeri ini termasuk di Palembang Provinsi Sumatera Selatan tempat bermukim penulis.
Terlepas dari kesannya "membakar duet/uang", yang jelas prilaku konsumen untuk membeli kembang api tersebut terus menghantui mereka setiap menjelang pergantian tahun baru. Terlepas apakah dengan menyalakan kembang api tersebut "mengganggu ketenangan" lingkungan, membayakan diri sendiri dan lingkungan, sering terjadi kebakaran, membakar bagian tubuh yang bersangkutan dan orang lain, dan sering terjadi pristiwa yang tidak diingnkan lannya.
Prilaku Konsumen Yang Melekat.
Bila disimak, prilaku konsumen untuk membeli kembang api dengan tujuan untuk dibakar atau dinyalakan pada detik-detik pergantian tahun tersebut, merupakan prilaku konsumen yang melekat pada diri mereka dan prllaku ini diperankan sebagian besar anak negeri ini.
Padahal mereka lupa, dengan menyalakan kembang api tersebut, selain mengganggu ketenagan lingkungan dan sering timbul dampak negatif lainnya tersebut, juga akan memberi dampak yang "fatal". Misalnya, bagi anak ngeri ini yang mendetita "penyakit jantung" yang tidak bisa mendengar  suara kembang api yang sangat kuat tersebut, ia akan "kaget bukan kepalang" dan bisa saja berakibat fatal bagi penyakit yang dideritanya, ada yang pingsan, bahkan ada yang colaps.
Jika sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab?. Untuk menjawabnya, betanyalah pada rumput yang bergoyang, meminjam lirik Ebiet G. Ade. Â Inilah dinamka yang ada!. Inilah fakta yang terjadi!.
Kita tidak menyalahkan siapa-siapa, mari kita intropeksi diri ditahun 2025 ini. Pengayom anak negeri ini harus merubah kebiasaan lama, jika setiap menjelang tahun baru kita membuat acara resmi yang diikuti dengan menyalakan kembang api, mengapa tidak kita alihkan saja dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat, entah diskusi di hotel, entah merefleksi diri di hotel, entah kegiatan positif lainnya yang tidak menimbulkan "kemudhoratan". Ini penting, karena  acara resmi yang kita lakukan tersebut, akan diikuti oleh anak negeri ini yang kita ayomi.
Prilaku Konsumen VS Penjual.
Bila dicermat, kegiatan menyalakan kembang api atau prilaku konsumen membeli kembang api tersebut diikuti oleh kegiatan lain yang berhubungan dengan "perut". Selama anak negeri ini menanti detik-detik tibanya tahun baru, sampai menjelang pagi, biasanya mereka melakukan kegiatan masak-memasak, bakar-membakar makanan, ada yang membakar jagung, ada yang membakar daging (sate), ada yang pesta makan-makan.
Nah prilaku ini dibaca oleh produsen atau penjual. Dengan serta merta mereka memainkan "ekspektasi rasional" mereka, mulai jauh-jauh hari (seminggu  sebelum pergantan tahun baru) mereka mulai menaikkan harga barang-barang makanan yang mereka jual, harga daging ayam naik, harga daging sapi nang naik,  harga jagung bakar naik, harga kacang naik, harga arang untuk membakar naik.
Seperti di Palembang, lima hari sebelum pergantian tahun, harga daging ayam mulai naik, dan puncaknya pada tanggal 30 dan 31 Desember, daging ayam potong menjadi  Rp. 40.000,- per kg yang sebelumnya memang sudah naik berkisar Rp. 27.000,- sampai Rp. 30,000,- per kg.
Prilaku penjual tersebut, sebenarnya sudah tercipta sejak lama, dan sebenarnya syah-syah saja dan normal saja. Sesuai dengan terori ekonomi sederhana, setap ada kenaikan permintaan, maka akan mendorong harga-harga akan naik.
Kemudian, biasanya, seperti menghadapi hari-hari besar keagamaan. Pasca lebaran atau pasca hari besar keagamaan, harga-harga tersebut mulai berangsur turun dan normal. Sama hal dengan kondisi menjelang pergantian tahun baru tersebut, biasanya pasca pergantian tahun usai, sehari atau dua hari berikutnya harga-harga tersebut mulai berangsur turun dan kembali normal, karena permintaan di pasar sudah kembali normal.
Bagaimana Sebaiknya Sikap Konsumen?
Bagi pedagang, fenomena kegiatan menyambut tahun baru tersebut, sama hal nya mereka menyikapi fenomena menghadapi hari besar keagamaan tersebut. Artinya, prilaku penjual menaikkan harga tersebut, sudah bukan barang baru, sudah mentradisi dan bagi mereka tindakan tersebut syah-syah saja dan rasional. Namun, konsumen harus bersikap, bagaimana konsumen menyikapinya?
Menurut hemat saya, konsumen bisa saja merubah tradisi atau kebiasaan yang sudah "melekat" tersebut, dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat, kalau pun kita akan memeriahkan tahun baru tersebut, lakukan ala kadarnya, bahkan akan lebih baik bila kita melakukan kegiatan yang berhubungan dengan "intropeksi diri" dan "apa yang harus dilakukan di tahun baru" tersebut.
Kebutuhan mendasar sudah menunggu, untuk itu tidak ada salahnya kita mengabaikan kebutuhaan non dasar tersebut, kebutuhan yang hanya berorientasi "hura-hura" tersebut. PR yang mendesak kita kerjakan sudah menunggu di tahun 2025 ini.
Bukankah kita masih dihadakan pada kondisi ekonomi yang sulit, tidak sedikit dari kita yang tergolong kalangan kelas menengah "makan tabungan", menunda kebutuhan dasarnya, Â bahkan (maaf) Â masih ada saudara kita "makan saja sulit". Mengapa kita harus hura-hura?
Mari kita terus melakukan perjuangan, pihak yang berwenang harus terus melakukan kebijakan yang mendorong percepatan terciptanya "kesejahteraan anak negeri ini". Anak negeri ini pun harus kreatif dan "gesit" dalam melakoni diri selaku mesin produksi agar setiap aktivitas yang kita lakukan senantiasa mengahsilkan uang. Selamat berjuang dan Selamat tahun baru 2025!!!!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H