Bila dicermat, kegiatan menyalakan kembang api atau prilaku konsumen membeli kembang api tersebut diikuti oleh kegiatan lain yang berhubungan dengan "perut". Selama anak negeri ini menanti detik-detik tibanya tahun baru, sampai menjelang pagi, biasanya mereka melakukan kegiatan masak-memasak, bakar-membakar makanan, ada yang membakar jagung, ada yang membakar daging (sate), ada yang pesta makan-makan.
Nah prilaku ini dibaca oleh produsen atau penjual. Dengan serta merta mereka memainkan "ekspektasi rasional" mereka, mulai jauh-jauh hari (seminggu  sebelum pergantan tahun baru) mereka mulai menaikkan harga barang-barang makanan yang mereka jual, harga daging ayam naik, harga daging sapi nang naik,  harga jagung bakar naik, harga kacang naik, harga arang untuk membakar naik.
Seperti di Palembang, lima hari sebelum pergantian tahun, harga daging ayam mulai naik, dan puncaknya pada tanggal 30 dan 31 Desember, daging ayam potong menjadi  Rp. 40.000,- per kg yang sebelumnya memang sudah naik berkisar Rp. 27.000,- sampai Rp. 30,000,- per kg.
Prilaku penjual tersebut, sebenarnya sudah tercipta sejak lama, dan sebenarnya syah-syah saja dan normal saja. Sesuai dengan terori ekonomi sederhana, setap ada kenaikan permintaan, maka akan mendorong harga-harga akan naik.
Kemudian, biasanya, seperti menghadapi hari-hari besar keagamaan. Pasca lebaran atau pasca hari besar keagamaan, harga-harga tersebut mulai berangsur turun dan normal. Sama hal dengan kondisi menjelang pergantian tahun baru tersebut, biasanya pasca pergantian tahun usai, sehari atau dua hari berikutnya harga-harga tersebut mulai berangsur turun dan kembali normal, karena permintaan di pasar sudah kembali normal.
Bagaimana Sebaiknya Sikap Konsumen?
Bagi pedagang, fenomena kegiatan menyambut tahun baru tersebut, sama hal nya mereka menyikapi fenomena menghadapi hari besar keagamaan tersebut. Artinya, prilaku penjual menaikkan harga tersebut, sudah bukan barang baru, sudah mentradisi dan bagi mereka tindakan tersebut syah-syah saja dan rasional. Namun, konsumen harus bersikap, bagaimana konsumen menyikapinya?
Menurut hemat saya, konsumen bisa saja merubah tradisi atau kebiasaan yang sudah "melekat" tersebut, dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat, kalau pun kita akan memeriahkan tahun baru tersebut, lakukan ala kadarnya, bahkan akan lebih baik bila kita melakukan kegiatan yang berhubungan dengan "intropeksi diri" dan "apa yang harus dilakukan di tahun baru" tersebut.
Kebutuhan mendasar sudah menunggu, untuk itu tidak ada salahnya kita mengabaikan kebutuhaan non dasar tersebut, kebutuhan yang hanya berorientasi "hura-hura" tersebut. PR yang mendesak kita kerjakan sudah menunggu di tahun 2025 ini.
Bukankah kita masih dihadakan pada kondisi ekonomi yang sulit, tidak sedikit dari kita yang tergolong kalangan kelas menengah "makan tabungan", menunda kebutuhan dasarnya, Â bahkan (maaf) Â masih ada saudara kita "makan saja sulit". Mengapa kita harus hura-hura?
Mari kita terus melakukan perjuangan, pihak yang berwenang harus terus melakukan kebijakan yang mendorong percepatan terciptanya "kesejahteraan anak negeri ini". Anak negeri ini pun harus kreatif dan "gesit" dalam melakoni diri selaku mesin produksi agar setiap aktivitas yang kita lakukan senantiasa mengahsilkan uang. Selamat berjuang dan Selamat tahun baru 2025!!!!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H