Oleh Amidi
Perjalanan perekonomian negeri ini sepanjang tahun 2024 tak terlepas dari kondisi perekonomian pada tahun-tahun sebelumnya. Berbagai dinamika dan fenomena serta permasalahan yang dihadapi. Utamanya permasalahan lambannya laju pertumbuhan ekonomi yang dilengkapi dengan permasalahan yang menghambatnya.
Beberapa Catatan.
Pertumbuhan ekonomi negeri ini bertengger di angka 5 persen-an, termasuk pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 ini. Sepertinya sulit untuk menerobos angka pertumbuhan ekonomi di atas itu.
Di tahun 2025 ini, kita harus berpacu untuk menggeser angka tersebut agar bisa lebih tinggi lagi, apalagi bila kita mengacu pada rencana pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diinginkan pemerintahan baru dibawah nahkoda Presiden Bapak Prabowo Subianto.
Kondisi dan dinamika tersebut, akan menjadi "runyam" bila kita lakukan pendekatan dengan variabel ekonomi lain yang ikut mewarnai perekonomian negeri ini tahun 2024 ini.
Pertumbuhan ekonomi yang lamban, diikuti oleh inflasi yang moderat bahkan bisa dibilang relatif kecil tersebut, saling kait mengkait antara dua variabel tersebut.
Memang pertumbuhan ekonomi harus dimbangi oleh angka inflasi, namun yang menarik dicermati, tahun 2024 ini bukan hanya terjadi inflasi tetapi justru terjadi deflasi.
Berdasarkan data yang dipublis BPS, pada triwulan ke tiga tahun 2024, angka pertumbuhan ekonomi negeri ini adalah sebesar 4,95 persen secara tahunan, inflasi di bulan September sebesar 1,84 persen secara tahunan, namun terjadi deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan.
Bila dicermati, deflasi yang terjadi bukan karena adanya penurunan harga karena kegiatan ekonomi atau proses produksi efisien, melainkan deflasi lebih disebabkan karena adanya penurunan daya beli (puchasing power).
Turunnya permintaan yang menyebabkan turunnya daya beli tersebut, dikarenakan anak negeri ini dihadapkan pada kondisi ekonomi yang sulit, tidak sedikit anak negeri ini yang sudah "makan tabungan", tidak sedikit kalangan kelas menengah dan bawah yang terpaksa menahan konsumsinya alias nyaris tidak bisa memenuhi konsumsinya, sehingga mereka harus terlilit utang.
Di lapangan pun bisa kita saksikan bahwa ditengah terjadinya deflasi tersebut, justru masih terjadi "kenaikan harga-harga" terutama harga bahan kebutuhan pokok atau sembako.
Ini menarik untuk dicermati, karena ditengah masih terus merangkaknya harga-harga di pasar, tetapi angka deflasi justru cenderung bertahan.
Artinya, memang daya beli masyarakat sedang tidak baik-baik saja alias turun drastis. Tidak heran, jika tidak sedikit unit bisnis yang tutup, salah satunya penyebabnya karena "pasar sepi" diikuti persaingan ketat, karena tidak sedikit pelaku bisnis selaku pendatang baru masuk pasar.
Beberapa waktu yang lalu ada beberapa gerai ritel modern yang tutup, Ramayana Departement Store, Giant, Transmart, dan beberapa yang lain.
Kini kita dihadapkan kasus tutupnya 400 gerai ritel modern Alfamart yang sebelumnya diketahui ritel modern ini sedang gencar-gencarnya memperbanyak gerainya dengan program 1.000 gerai-nya. Eh, tiba-tiba ada berita mereka menutup 400 gerai-nya. (lihat Amidi dalam Kompasiana.com, 18 Desember 2024).
Tidak hanya itu, di belantika perekonomian negeri ini tahun 2024, perekonomian negeri ini juga dihadapkan pada penutupan beberapa bank, baik bank perkreditan rakyat (BPR) maupun bank umum (BU). Berdasarkan informasi bahwa per Desember tahun 20204 ini ada 17 bank tutup, bangkrut --izin dicabut OJK (CNBC Indonesia.com, 17 Desember 2024).
Kasus yang masih hangat adalah kasus dugaan korupsi dana CSR pada Bank Indonesia (BI) yang kita kenal dengan lembaga yang menjalankan sistem moneter indonesia. Toh, justru lembaga ini terindikasi melakukan hal yang tidak kita inginkan tersebut. Jika kasus ini benar adanya, maka lengkap sudah penderitaan perekonomian negeri ini.
Korupsi sepertinya sulit untuk diberantas tuntas. Berdasarkan laporan kpk bahwa penanganan perkara yang telah dilakukan KPK tahun 2024, berdasarkan data per 16 Desember 2024, KPK telah melakukan serangkaian upaya penindakan, yang terdiri dari atas penyidikan (142 perkara), penuntutan (79 perkara), perkara yang berkekuatan hukum tetap/inkracht sejumlah 83 perkara, dan pelaksanaan eksekusi sebanyak 99 perkara. (kpk.go.id, 24 Desember 2024).
Sebenarnya, kasus korupsi ini memang tidak perlu dihebohkan, karena penyakit ekonomi yang satu ini, sepertinya sudah "lumrah" dan "melanada berbagai lini", termasuk institusi yang mengurusi masalah agama sekali pun bahlan terkadang objeknya pun tidak tanggung-tanggung yakni rumah ibadah. Apa yang mau dikata? Inilah dinamikanya! Inilah faktanya!
Sedih, memang sedih. Emosi memang emosi. Tetapi inilah warna perekonomian negeri ini. Siapa yang salah? Siapa yang harus dislaahkan? Hanya rumput yang bergoyang yang dapat menjawabnya. Meminjam lirik lagu Ebiet G Ade, tanya saja pada rumput yang bergoyang!
Pemerintah atau petinggi negeri ini jauh sebelumnya sudah membentuk suatu lembaga anti bodi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun apa daya, korupsi pun masih terus "bergulir" bahkan terjadi juga pada lembaga dan atau orang yang seharusnya memberantasnya, tetapi kenyataannya melakukannya juga. Ironi bukan?
PR tahun 2025.
Pada tahun 2025 nanti, tidak sedikit Pekerjaan Rumah (PR) sudah menanti. Pemerintah harus mendorong sekuat tenaga agar permintaan atau daya beli kembali normal dan bisa didongkrak kembali.
Upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengembanglikan pendapatan anak negeri ini hilang atau yang turun, meningkatkan pendapatan anak negeri, dan menahan agar tidak lagi terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran serta memperluas lapangan kerja.
PHK di tahun 2024 ini dan sebelumnya, terus bergulir, kasus PHK perusahaan tekstil secara besar-besaran, PHK pada perusahaan media massa (televisi, koran, majalah dan lainnya), PHK pada lembaga keuangan bank dan non bank, PHK pada perusahaan jasa dan lainnya.
Upaya yang dilakukan bagaimana mempertahankan agar unit bisnis yang ada tetap bertahan, dengan jalan menciptakan persaingan yang sehat, menekan beban yang dipikul oleh pelaku bisnis, meningkatkan daya beli pun tetap perlu dilakukan baik yang diupayakan pemerintah maupun oleh pelaku bisnis sendiri dengan berkreasi, berinovasi dan melakukan berbagai strategi.
Berjuang meningkatkan jumlah investasi dan meningkatkan kemanfaatan investasi. Jika selama ini investasi lebih dominan ditujukan pada investasi padat modal, maka upayakan investasi yang kita lakukan dan investasi yang masuk adalah investasi padat karya, agar lebih banyak menyerap tenaga kerja dan lebih banyak memberi kemanfaatan bagi perekonomian negeri ini.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya selain berupaya meningkatkan penyerapan angkatan kerja yang masih menganggur, perlu juga menekan angka kemiskinan.
Kemiskinan tidak hanya akan menggerogoti pembangunan yang sudah dilakukan, tetapi kemiskinan akan menekan pertumbuhan ekonomi, karena dana-dana akan terkuras untuk melakukan berbagai program sosial dan bantuan lainnya.
Harapan kita agar perekonomian di tahun 2025 nanti lebih baik dari tahun 2024, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6 persen-an, inflasi terkendali dan tidak terjadi deflasi, unit bisnis bertahan tidak collaps, PHK bisa dihindari, pengangguran bisa ditekan, kesejahteraan anak negeri ini menjadi lebih baik.
PR kita memburu pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut, suatu PR yang tidaklah ringan. Ia membutuhkan keseriusan kita semua, ia membutuhkan komitmen dan konsistensi kita semua. Jangan ada kebijakan yang kontroversial seperti kenaikan PPN 12 persen. Untuk itu kita mengharapkan tangan besi yang bisa secepatnya merubah kondisi dan memperbaiki perekonomian negeri ini. Selamat Berjuang!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H