Â
Oleh Amidi
Â
Korupsi, penyalah gunaan kekuasaan/wewenang, dan atau memperkaya diri sendiri, sepertinya "sulit setengah mati" untuk "diberantas tuntas" di negeri ini. Penyakit ekonomi yang satu ini, tidak hanya melanda kalangan pelaku bisnis/pengusaha/swasta, tetapi melanda juga kalangan eksekuitf, dan legeslatif.
Kini penyakit ekonomi tersebut diduga terjadi dalam tubuh otoritas moneter di negeri ini. Kini di media massa, baik cetak, elektronik maupun media sosial ramai-ramai memberitakan kasus dugaan korupsi dana CSR yang diduga dilakukan oknum yang ada dalam pelaksana otoritas moneter (Bank Indonesia-BI).
 Dugaan korupsi dana CSR BI tersebut terus  diusut oleh Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK). Beberapa hari lalu, KPK telah menggeleda kantor BI dan penyidik KPK  juga melakukan penggeledahan di salah satu Direktorat  di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, mereka berhasil mengamankan barang bukti  elekronik serta beberapa dokumen. (Kompas.com, 21 Desember 2024).
Mengapa Bisa Terjadi?
Korupsi yang merupakan tindakan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya seca instan tersebut, memang tidak heran kalau menggoda setiap anak negeri ini. Apalagi, bila ditilik dari pendapatan (gaji/tunjangan/dll) yang mereka terima dirasakan masih selalu kurang dan atau adanya sifat "rakus", adanya keinginan cepat kaya, adanya dorongan "kepentingan politik", adanya tekanan pihak bertaji, dan lainnya.
Kesemua itu, sepertinya dalam waktu singkat hanya dapat dilakukan dengan jalan korupsi alias "maling". Dengan demikian pula, tidak heran jika oknum pegawai bank sentral BS), oknum pegawai Bank Umum (BU) atau oknum pegawai pada lembaga keuangan lain akan ikut melakukan korupsi bahkan mungkin akan dilakukan beramai-ramai.
Berita tentang oknum pegawai bank yang membobol dana nasabah sudah tidak asing lagi, berita tentang perusahaan asuransi tidak dapat membayar klaim nasabah atau gagal bayar sudah biasa, berita tentang dana nasabah hilang atau lenyap begitu saja tidak kalah hebohnya menghiasi media massa atau media sosial.
Bauru-baru ini saja, bank yang menghidmatkan diri pada koridor "syariah" saja pun ikut melakukan hal yang sama. Diberitakan oleh media massa bahwa ada nasabah kehilangan deposito Rp. 700 juta karena ulah karyawan  salah satu bank syariah (lihat TribunJatim.com,  20 Desember 2024).
Belum lagi, bila ditelusuri kasus hilangnya dana nasabah yang sudah lalu, yang beritanya masih sering menghiasi media massa dan media sosial. Kita berterima kasih kepada  aparat penegak hukum yang sudah getol memberantas dan memproses kasus-kasus tersebut, kita berharap agar kasus serupa dapat dieliminir bahkan dituntaskan.
Akibat Dugaan Korupsi Dana CSR.
Â
Bila dicermati, selama ini kepercayaan anak negeri ini selaku nasabah lembaga keuangan baik bank maupun non bank sudah terkikis oleh kasus hilangnya dana simpanan nasabah pada bank dan non bank, tidak tertagihnya klaim pada perusahaan asuransi, kasus lambannya bank  mencairkan dana nasabah, kasus lambannya nasabah melakukan klaim pada perusahaan asuransi dan seterusnya.
Â
Kesemua itu, mempengaruhi kepercayaan anak negeri ini selaku nasabah bank dan perusahaan asuransi. Sehingga, tidak heran kalau bank-bank berlomba-lomba memburu nasabah agar menyimpan dana mereka ke bank atau memburu pihak yang akan memanfaakan dana yang ada di bank (kreditor), dan perusahaan asuransi berlomba-lomba membidik calon nasabahnya, hal ini dilakukan akibat turunnya peminat pada bank dan perusahaan asuransi tersebut.
Begitu juga dengan adanya kasus dugaan korupsi dana CSR pada BI tersebut, kasus ini tidak hanya  memberi imbas pada variabel moneter saja, tetapi akan memberi imbas pada kepercayaan nasabah bank umum (BU) kepada bank umum (BU) yang ada di negeri ini.
Dengan demikian  kepercayaan itu sepertinya kembali akan semakin luntur, dengan adanya dugaan kasus korupsi CSR yang diduga terjadi pada BI yang merembet ke OJK yang dilakukan oleh oknum pada lembaga otoritas moneter tersebut.  BI dan OJK yang merupakan lembaga otoritas moneter di negeri ini, yang mengawasi dan melakukan pembinaan kepada lembaga keuangan tersebut, terutama kepada bank, dengan adanya dugaan kasus tersebut, lambat laun akan  mempengaruhi variabel moneter dan kembali akan menurunkan kepercayaan nasabah itu sendiri.
Seperti yang disampaikan langsung oleh Gubernur BI Bapak Perry Warjiyo bahwa pemberitaan terkait permasalahan dugaan korupsi dana CSR di Bitengah diusut KPK turut mempengaruhi  kondisi pasar uang. Menurt Bapak Perry Warjiyo  segala pemberitaan yang berkaitan dengan  BI bakal mempengaruhi sentimen pasar keuangan, termasuk pergerakan nilai tukar rupiah di pasar uang. (Kompas.com, 16 desember 2024).
Sebenarnya tidak hanya itu yang terjadi bila kasus dugaan korupsi dana CSR tersebut tidak tuntas, walaupun pada akahirnya bisa dituntaskan  pun, kasus kurupsi yang satu ini tetap akan merembet mempengaruhi kepercayaan nasabah kepada bank-bank umum. Betapa tidak?
Anak negeri ini tahu kalau dugaan korupsi tersebut terjadi pada lembaga otoritas moneter yakni suatu lembaga yang justru sebagai pengawas lembaga keuangan bank yang ada di negeri ini. Artinya BI itu sebagai pengawas bank-bank umum yang ada. Artinya BI seharusnya dijadikan panutan oleh bank-bank umum dalam menjalankan operasional perbankan mereka. Toh, lembaga ini sendiri justru diduga melakukan "penyimpangan", mengapa tidak mereka (pihak bank/pihak non bank) akan ikut berulah.
Â
Sebelumnya saja, mereka sudah banyak melakukan penyimpangan, apalagi ada dugaan kasus korupsi pada BI yang diduga melibatkan OJK tersebut. Ibaratnya, bapak atau orang tua dari anak-anak sudah melakukan penyimpangan, biasanya anak-anak nya akan ikut terdorong melakukan hal yang sama. Bapak saja melakukan hal demikian, kita juga demikian dong!. Kalimat itu bukan tidak mungkin akan meluncur dari mulut mereka.
Â
Jika sinyalemen ini terus berkembang, mau dikemanakan lembaga keunagan di negri ini. Jika kasus dugaan korupsi dana CSR yang dilakukan oknum pada unit BI tersebut tidak tuntas, jangan harap korupsi (terutama korupsi pada bank) bisa ditekan.
Â
Mumpung  anak negeri ini sebagian besar masih percaya pada lembaga keuangan yang ada di negeri ini, maka secepatnya persoalan yang satu ini kita tuntaskan.. Jika tidak,  kemana lagi anak negeri ini akan mengamankan dana-nya, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai akses untuk melakukan capital flaight.Â
Â
Untuk itu harus ada langkah bijak yang harus kita lakukan. Setidaknya dugaan kasus korupsi pada lembaga otoritas moneter tersebut harus secepatnya dituntaskan, dengan melakukan beberapa langkah.
Â
Pertama. Jangan halangi institusi penegak hukum menyelesaikan masalah ini dan jangan dipersulit lembaga pemberantas korupsi (KPK) melakukan penyidikan dan publik harus mengawal persoalan ini sampai tuntas.
Â
Kedua. Kembalikan kepercayaan nasabah dengan membersihkan unit pada lembaga otoritas  moneter negeri ini yang  diduga melakukan korupsi tersebut.Â
Â
Ketiga. Berikan kepastian kepada anak negeri ini, baik nasabah maupun pelaku bisnis dan pihak lainnya, bahwa lembaga otoritas moneter ini tetap akan berperan dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Â
Keempat. Tidak ada salahnya jika kita kembali melakukan bersih-bersih pada semua lini dan semua unit pada lembaga otoritas moneter di negeri ini. Jangan ada unsur politis dalam menempatkan petinggi pada lembaga otoritas moneter tersebut, jangan ada lagi pertimbangan "ketidak profesionalan" dalam menempatkan SDM pada lembaga otoritas  moneter ini. Kembalikan lembaga otoritas moneter ini sebagai lembaga yang dihormati dan diguguh. Selamat berjuang!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H