Kasihan pekerja terkadang dalam menajalankan pekerjaannya harus "berdiri" dari pagi sampai sore hanya dibayar dengan besaran di bawah Rp, 2 juta, Kasihan pencerdas bangsa yang sudah berupaya mencerdaskan bangsa, masih ada yang dibayar "ala kadarnya". Kasihan pemikir, yang memberi kontribusi kepada negeri ini dibayar jauh lebih rendah dibandingkan dengan "rekan kita yang terhormat itu"
Â
Pengalaman saya pernah menjadi nara sumber pada NGO yang memperoleh pendanaan dari Jepang untuk mencerdaskan suatu kelompok "SDM" negeri ini, saya dibayar dengan stadar yang luar biasa "gede"-nya.
Dipihak pekerja, jika memang tempat kita bekerja kondisi keuangannya memang belum memungkinkan untuk membayar sesuai dengan ketentuan upah minimum, maka kita harus menerima dengan lapang dada sembari terus berjuang dan bekerja keras serta berdoa agar tempat kita bekerja akan mengalami kemajuan dan perkembangan.
Dipihak pemerintah, tetaplah membuat berbagai regulasi termasuk Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar kebijakan atau regulasi yang kita buat tersebut tidak membebani pemberi kerja, tidak merugikan pekerja dan tidak mengganggu kondisi ekonomi, dengan kata lain harus proporsional.
Kemudian pengawasan tetap harus dilakukan, pengawasan harus dilakukan secara rutin dan berkala. Selain pengawasan, kita pun perlu melakukan pembinaan kepada pemberi kerja. Singkat kata, pemerintah harus menciptakan suatu kondisi yang harmonis antara pelaku bisnis atau pemberi kerja selaku pihak yang menanamkan dana (investasi), dengan dmasyarkat selaku pekerja dan masyarakat selaku konsumen. Selamat berjuang!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H