Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada Jangan Dipandang sebagai Investasi, tetapi Pandanglah sebagai Ajang Perjuangan!

9 Desember 2024   07:04 Diperbarui: 11 Desember 2024   22:18 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020). KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

Oleh Amidi

Dengan usainya hasil perhitungan suara perolehan dalam Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka sudah dapat dipastikan calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang memenangkan persaingan dalam ajang Pilkada tersebut alias terpilih.

Kini kita sudah mengetahui siapa yang akan memimpin daerah kita, tinggal diresmikan saja melalui pelantikan yang akan dilakukan beberapa bulan lagi. Dengan demikian, maka setiap daerah sudah akan memiliki pemimpin baru, kecuali calon yang melawan kotak kosong yang perolehan suaranya belum memenuhi syarat sebagai pemenang.

Biaya Politik Mahal?

Bila disimak, ternyata biaya politik (politic cost) yang dikeluarkan oleh calon yang ikut bertarung dalam Pilkada tersebut tidak lah kecil. Ada yang harus merogoh koceknya puluhan miliyar rupiah bahkan ratusan milyar rupiah bahkan konon ada yang lebih dari itu.

Ternyata memang biaya politik itu mahal?

Biaya politik yang memang nyata dilakukan atau dikeluarkan calon dan tim sukses calon yakni dana promosi atau kampanye yang terbilang tidak kecil yang digunakan untuk "menjual diri" atau mempengaruhi pemilih agar memilih dirinya.

Belum lagi "konon" ada biaya politik untuk bisa dicalonkan oleh "lembaga" yang akan mencalonkan mereka, ditambah jika ada kegiatan melakukan "siraman" menjelang hari H atau menjelang waktu pencoblosan.

Bila disimak berita media massa atau media sosial, biaya politik selain dana promosi tersebut memang itu ada dan nyata, termasuk ada oknum yang memberikan "siraman" tersebut (lihat dan baca media massa dan media sosial).

Dana "siraman" yang dilakukan oknum tersebut, terkadang tidak tanggung-tanggung, yang jelas akan menambah besar pengeluaran atau biaya politik mereka.

Masih Ada yang Menganggap Investasi

Biaya politik yang tidak kecil yang mereka keluarkan tersebut, terkadang dianggap oknum calon dan oknum tim calon sebagai "investasi" yang mereka tanamkan, jika oknum dari kalangan mereka tersebut memenangkan persaingan atau pertarungan dalam Pilkada tersebut.

Sehingga, dengan serta merta, ada oknum calon dan oknum tim calon yang setelah calon jagoan mereka tersebut dinyatakan sah terpilih atau dinyatakan sah sebagai pimpinan daerah tersebut, mulailah oknum dari kalangan mereka menghitung-hitung atau mulailah mengkalkulasi, nanti saya (oknum) harus dapat ini dan itu, mulailah mengkalkulasi berapa lama investasi yang dikeluarkan akan kembali.

Jika biaya politik tersebut dianggap investasi, maka akan ada upaya untuk mengembalikan dana yang diinvestasikan tersebut dan bukan tidak mungkin semua aktivitas yang akan oknum lakukan, oknum akan lakukan dengan hitung-hitungan rupiah. Jika oknum tersebut akan mengambil kebijakan ini dan itu, berapa hitungan rupiah yang akan terima.

Dengan demikian, wajar, kalau ada oknum pimpinan daerah yang terjerat "korupsi" yang menyalahgunakan wewenangnya, yang menggunakan kekuasaan untuk menjaring rupiah dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun