Sekali lagi bahwa  BBM subsidi tersebut masih dibutuhkan oleh masyarakat kelas menegah atau konsumen  yang membeli kendaraan secara kredit. Walaupun selisih (spread) harga BBM non subsidi (pertamamax) dengan BBM subsidi (pertalite), saat ini masih relatif kecil, hanya selisih Rp. 2000,- per liter (harga BBM pertamax Rp. 12.000,- per liter sedangkan harga BBM subsidi pertalite Rp. 10.000,- per liter). Namun, bagi kelas menengah dan atau konsumen yang membeli kendaraan dengan cara kredit, selisih tersebut sangat berarti.
Bila dikalkulasi, seandainya konsumen BBM membeli 10 liter pertamax berarti konsumen akan mengeluarkan uang  sebesar Rp. 120.000,- Bila  konsumen membeli pertalite, maka dengan uang Rp. 120.000,- tersebut, konsumen bisa membeli pertalite sebanyak 12 liter (selisih 2 liter). Dengan demikian, semakin banyak konsumen membeli pertamax, maka semakin besar pula selisih harganya.
Nah, perhitungan ini, masih  mereka lakukan, karena mereka mempertimbangkan juga besaran pengeluaran lainnya  atas kebutuhan yang mereka harus penuhi juga.
Apakah Efektif ?
Dengan memberlakukan pembelian BBM subsidi jenis pertalite dan solar tersebut dengan sistem barkode atau QR code tersebut, apakah penyaluran atau penjualan BBM subsidi akan tepat sasaran atau bisa efektif?
Untuk menjawabnya, perlu penulusan dan analis. Namun, secara  sederhana bisa di jawab, bisa efefktif dan bisa juga belum efektif atau tidak efefktif, kita masih perlu waktu untuk membuktikannya.
Namun, setidaknya, dengan pembelakukan pembelian BBM subsidi terutama jenis pertalite, setidaknya sudah dapat mengerem penyimpangan penggunaan/pemakaian/penjualan BBM subsidi. Secara kasat mata, kita  bisa  menyaksikan dilapangan bahwa apabila  konsumen yang akan membeli BBM subsidi tersebut tidak memiliki  QR code, maka pihak SPBU tidak akan melayani.
Dalam jangka pendek fenomena ini sepertinya masih bisa dipertahankan, namun dalam jangka panjang, bisa saja akan terjadi penyimpangan dan atau penyalah gunaan pemakaian QR code  tersebut.
Penyimpangan bisa saja dilakukan oleh oknum pihak SPBU atau oknum pelayan SPBU, dan juga bisa saja disalah gunakan oleh oknum konsumen yang akan membeli BBM subsidi itu sendiri.
Misalnya, pihak  SPBU tidak mau "ribet", jika konsumen yang sudah datang ke SPBU untuk membeli BBM subsidi, sementara konsumen tersebut tidak atau belum memiliki QR code, maka bisa saja oknum pihak SPBU masih melayani konsumen tersebut, atau oknum pihak SPBU meminta konsumen tersebut meminjam QR code orang lain, agar  oknum pihak SPBU tersebut mau melayani konsumen  tersebut.
Jika ini yang terjadi, tidak ada masalah, jika  konsumen yang dipinjam QR code tersebut, memang konsumen yang benar-benar masih layak mendapatkan subsidi BBM.
Namun,  bila ada fenomena, konsumen yang memiliki mobil dengan CC besar (di atas 1.500 CC), mengunakan QR code  atau membuat QR code  dengan data mobil dengan CC kecil (di bawah 1.500 CC), sementara konsumen tersebut membeli BBM subsidi untuk mobil yang dimilikinya dengan CC besar (di atas 1.500 CC) atau mobil yang tergolong mewah.