Pengalaman saya pada saat cedera lutut, terjadi "fraktur tempurung lutut", lutut saya terbentur di lantai, yang menyebabkan tempurung lutut saya "retak", sehingga saya harus dioperasi untuk dipasang kawat kecil (wire). Saya harus istirahat, menghentikan semua aktivitas lebih dari satu bulan.
Pada saat itu saya menyadari anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa lutut tersebut, luar biasa penting dan vital bagi kehidupan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dalam hal ini, karena ada seseorang mengalami hal yang sama, sampai ia yang mengatakan bahwa "satu miliar rupiah pun, saya tidak akan menjual lutut saya".
Pernyataan spontan tersebut, menyatakan betapa mahalnya dan betapa vitalnya "lutut". Dengan demikian, pula berarti lutut tidak boleh lagi diandaikan dengan nilai yang ringan (murah), anatomi tubuh yang tidak boleh dihiraukan, karena lutut sangat vital dan memegang peran strategis dalam kehidupan ini.
Dengan demikian, maka istilah modal dengkul, nampaknya sudah kurang tepat bila kita mengacu dari peran dan fungsi lutut yang luar biasa vital dan strategis tersebut, yang bernilai mahal tersebut.
Sebaiknya Modal Non Fisik atau Keringat.
Dengan demikian, maka istilah modal dengkul perlu diluruskan. Apakah tidak sebaiknya diganti dengan sebutan modal non fisik saja. Karena bila disebutkan modal fisik yang lazim kita ketahui adalah berupa uang, peralatan, mobil dan lain-lain itu, maka modal non fisik lebih "pas", karena ia berupa keahlian, tenaga, dan faktor non fisik lainnya.
Untuk itu, sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari anak negeri ini, sebaiknya tidak lagi menggunakan istilah modal dengkul tersebut, karena penyebutan modal dengkul seakan-akan meremehkan atau menafikan seseorang yang melakoni unit bisnis yang tidak menggunakan modal fisik yang besar, seperti yang lazim diartikan dalam kehidupan sehari-hari tersebut.
Padahal modal non fisik justru memegang peranan penting, yang tak kalah pentingnya dengan peran dan fungsi dengkul atau lutut tersebut. Dengan modal non fisik, maka unit bisnis yang kita lakoni tersebut, diyakini akan dapat berjalan dan layaknya sebagaimana kita menggunakan modal fisik
Lagi pula, jika kita ingin menyebut modal dengkul, seharusnya diartikan dengan suatu nilai dengkul yang dinilai dengan uang yang "tidak kecil" tersebut.
Pengalaman saya pada saat masih duduk di bangku SD beberapa puluh tahun yang lalu, saya menjual es bungkus, es yang dibungkus dengan plastik memanjang ukuran 20 cm, yang dijual dengan menggunakan termos es.
Saya tidak menggunakan modal fisik (uang) sama sekali, seperti harus membeli termos es, sepeda dan lainnya, tetapi saya hanya bermodalkan tenaga dan suara saja (istilah umumnya modal dengkul tersebut).