Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Taruhan Antara Mempertahankan Keprofesionalan dengan Tuntutan Cuan!

10 Oktober 2024   06:19 Diperbarui: 12 Oktober 2024   13:54 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila dicermati, ternyata sebagaian besar anak negeri, memang tidak mudah mempertahankan keprofesionalan dengan semakin banyaknya kebutuhan ditambah godaan gaya hidup yang serba glamor dan hedonis.

Apalagi, saat ini anak negeri ini sedang dihadapkan masa sulit, tidak sedikit anak negeri ini yang tergolong kelas menengah sudah "makan tabungan" dan menahan kebutuhannya, karena pendapatan mereka stagnan bahkan cendrung turun.

Di tengah gencarnya godaan tersebut, tidak heran jika keprofesionalan seseorang mulai luntur, cuan/uang mulai memegang peranan penting, cuan "Di-dewakan" atau "Di-Tuhankan".  Seakan dengan tidak memiliki cuan yang banyak, hidup terasa hampa, harga diri "terkikis" dan seterusnya.

Kemudian dalam keilmuan, terkadang nilai keprofesionalan ini "menyusut".  Bila hendak mentrasnfer ilmu yang kita miliki, biasanya kita mulai menghitung-hitung berapa cuan yang akan diperoleh, apakah dengan mentransfer ilmu tersebut, saya akan memperoleh cuan. 

Dinamika yang Berkembang.

Bila disimak, tidak sedikit anak negeri ini yang menahan dan menghentikan kegiatan yang bernilai keilmuan karena mereka merasa tidak ada cuan-nya, keprofesionalan menjadi taruhan, karena mereka mulai merasakan bahwa selama ini biasanya, apabila ia melakukan kegiatan bernilai keilmuan tersebut akan memperoleh cuan.

Misalnya saja, kasus yang terjadi baru-baru ini, mengenai fenomena pemberian gelar doktor honoris causa (HC) pada beberapa anak negeri ini. Lembaga pemberi, kental dengan perhitungan atas cuan yang ia akan peroleh dari penerima gelar. Penerima gelar menyanggupi untuk merogoh "kocek" alias "kantong" untuk mengeluarkan cuan yang tidak kecil. Ini sudah hukum alam, saya tidak berani menggunakan kata sunatullah, takut salah.

Fenomena tersebut, saat ini ternyata tidak hanya berlaku pada fenomena ini saja, ternyata terjadi juga pada fenomena untuk meraih gelar jabatan fungsional akademik (profesor atau lektor kepala). Misalnya, dalam Perguruan Tinggi (PT), seorang pencerdas bangsa (baca:dosen) harus mengeluarkan cuan yang tidak kecil untuk memperoleh gelar jabatan fungsional akademik (profesor atau lektor kepala), karena untuk memenuhi persyaratan yang harus mereka penuhi, menuntut mereka untuk mengeluarkan cuan yang tidak kecil.

Mereka harus mengeluarkan cuan untuk dapat dimuat pada jurnal yang disyaratkan, misalnya jurnal Scopus. Mereka harus mengeluarkan cuan karena ada biaya ilegal (illegal cost) yang sering timbul, belum lagi biaya akibat beberapa kesempatan yang hilang (opportunity cost), karena mulai pengurusan sampai terbitnya SK membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Sebagai contoh, berdasarkan informasi, disinyalir untuk menerbitkan beberapa artikel kedalam suatu jurnal internasional saja, yang disyaratkan untuk dapat memperoleh gelar jabatan fungsional akademik (profesor) tersebut, kita harus mengeluarkan cuan berkisar pada angka puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Suatu angka angka yang tidak kecil, dan suatu fenomena yang sepertinya bertentangan dengan pengembangan keilmuan.

Jika demikian adanya, mereka mulai menghitung-menghitung, mulai terjadi transaksional, tidak mengapa mengeluarkan cuan, toh! Pada saat-nya saya akan menerima cuan kembali sebagai pembayaran tunjangan ini dan itu.

Idealnya bila kita mengembangkan suatu keilmuan, atau adanya suatu temuan, minimal kita akan dihargai dengan beberpa besaran cuan tertentu. Namun, kini, hasil pengembangan keilmuan kita tersebut, bila akan dipublis, justru kita yang akan mengeluarkan cuan.

Saya tidak mengetahui dinamika yang berkembang, apakah memang pola dan cara akan membudaya, atau karena adanya dorongan gaya hidup glamor, dan atau hedonis. Mungkin Anda tertarik mendalaminya, silakan saja kaji lebih jauh lagi!.

Pengalaman saya, pada saat saya akan mempublikasikan hasil penelitian pada suatu Jurnal Sinta, suatu saat saya ditelpon pengelola untuk menyetor cuan dalam angka ratusan ribu rupiah. Konon semakin tinggi tingkatan jurnal Sinta (misalnya; Sinta 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya), maka semakin tinggi cuan yang harus kita setor. Saya kaget, selama ini saya dibayar, eh, ternyata saya harus membayar.

Yang Biasa Sudah Tidak Biasa Lagi.

Pada bagian lain, kita justru dihadapkan pada suatu kondisi yang bertolak belakang (trade-off). Selama ini, di satu sisi, bila kita mempublis suatu tulisan/artikel/karya ilmiah/hasil peneltiian pada suatu media massa atau jurnal, kita akan memperoleh cuan yang diberikan oleh lembaga yang mempublisnya. Namun, karena lembaga tersebut saat ini sudah dihadapkan masalah cuan, sehingga mereka dengan berat hati, tidak dapat lagi memberikan balas jasa atas tulisan/artikel/karya ilmiah/hasil penelitan yang akan kita publis tersebut.

Misalnya, beberapa media massa, sebelum pandemi, memberikan honor atas tulisan/artikel  kita yang berhasil diterbitkan pada media massa tersebut, apakah itu koran, tabloit, majalah dan juga televisi bila kita mengisi acara talkshow. Namun, kini hanya beberapa media massa saja yang masih bertahan memberikan cuan berupa honor tersebut.         

Memang saat ini, mereka masih tetap menerima tulisan/artikel kita, namun mereka tidak  dapat memberikan balas  jasa berupa honor seperti yang biasa kita terima sebelumnya. Mereka tetap masih menyediakan kolom opini dan kolom lainnya, untuk para pembaca atau publik yang akan menulis artikel, namun mereka tidak lagi membayar honor dengan besaran cuan yang sering mereka berikan sebelumnya.

Hal ini mereka lakukan, karena perusahaan media mereka mengalami penurunan "oplah" dan penurunan "pemasang iklan", karena media untuk mengiklankan suatu produk sudah tersedia berbagai pilihan. Bahkan, pelaku bisnis saat ini tidak jarang memanfaatkan media sosial sebagai media untuk mengiklnakan suatu produk mereka.

Bagimana Sikap Kita?

Dalam menyikapi fenomena ini, berbagai tanggapan yang mucul dikalangan kita. Ada yang menanggapinya dengan berpikir sepintas, "ngapain" capek-capek menulis, kalau pada saatnya tidak memperoleh cuan alias tidak di bayar. Ada yang menanggapi "tidak mengapa" yang penting bisa menularkan kelilmuan yang dimiliki, yang penting bisa "mengabdikan" ilmu dikalangan khalayak atau publik.

Memang cuan perlu, namun pada kondisi ini, saya memilih sikap yang kedua, saya mengangap "tidak mengapa" tidak memperolan  cuan alias tidak dibayar pasca pandemi, karena selama ini ratusan artikel saya juga sudah dibayar, karena selama ini media tersebut sudah membesarkan nama saya, karena media tersebut sudah mempromosikan diri saya. Itung-itung pengabdian, dan kita berdoa, agar pada suatu saat media-media tersebut mulai bangkit lagi. Inilah yang dikatakan suatu  pertentangan atau tahuhan antara keprofesionalan dengan cuan.

Bagaimana Sebaiknya?

Dalam menyikapi fenomena yang berkembang tersebut, kita harus mengambil sikap, tinggal tergantung sikap yang bagaimana yang harus kita sikapi. Menurut saya, setidaknya harus ada langkah meninjau kembali persoalan cuan yang harus dikeluarkan dalam mempublis karya ilmiah, karya ilmiah populer yang kita akan publikasikan tersebut.

Perlu ditinjau ulang, jurnal  yang menetapkan cuan sebagai pembayaran yang tinggi untuk bisa dipublis pada salah satu jurnal internasional untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar jabatan fungsional akademik tersebut. Apakah tidak sebaiknya, walaupun harus keluar cuan, namun tidak memberatkan, atau cuan yang akan dibayarkan untuk mempublikasikan karya ilmiah  kita tersebut dibayar oleh PT tempat kita mengabdi.

Perlu ditinjau ulang, jurnal Sinta atau jurnal dalam negeri yang menetapkan pembayaran untuk mempublikasikan karya ilmiah atau hasil penelitian. Apakah tidak sebaiknya, jika ada pembiayaan dalam penerbitan jurnal Sinta tersebut, biaya tersebut ditanggung oleh pengelola atau lembaga yang menerbitkan jurnal Sinta tersebut. Bukankah ini demi pengembangan ilmu pengetahuan dan demi kepentingan lembaga atau PT itu sendiri.

Perlu adanya "pemakluman" karena tidak dibayar oleh media massa tempat kita mempublikasikan karya ilmiah atau karya ilmiah populer kita tersebut. Yakinlah suatu saat mereka akan bangkit dan kembali akan membayar dengan memberikan cuan.

Apakah tidak sebaiknya kita lebih mengutamakan ke-profesionalan anak negeri ini yang akan kita berikan gelar  jabatan fungsional akademik (profesor atau lektor kepala) tersebut atau yang akan mempublikasikan  karya-karya nyata yang bertebaran di ruang publik. Ketimbang, kita harus membebani mereka dengan cuan yang akan "menghalangi" langkah  mereka untuk mempertahankan keprofesionalannya. Selamat Berjuang!!!!!

Oleh Amidi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun