Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Memahami Secara Mendalam Kesulitan Keuangan Kelas Menengah-Bawah

12 Agustus 2024   06:43 Diperbarui: 13 Agustus 2024   10:22 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pekerja kantor berada di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, saat jam pulang kerja, Jumat (24/3/2023). (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Oleh Amidi

Terinpirasi dari berbagai tulisan yang disajikan media tentang kesulitan kelas (ekonomi) menegah-bawah, saya tergelitik menulis artikel ini. Akhir-akhir ini persoalan yang di hadapi mereka semakin nyata, barang kali termasuk kita juga mengalami hal yang sama.

Impitan "kehidupan" yang menerpa kelas mengah terlebih kelas bawah ini, memacu kita bukan hanya sekadar harus "peduli", tetapi menuntut kita harus berbuat banyak, sesuai dengan kapasitas dan profesi yang terpatri pada diri kita.

Meneropong Kehidupannya.

Saudara kita ini dan mungkin termasuk kita yang membaca artikel ini, termasuk saya bila didalami "mungkin" sudah merasakan hal yang sama, sudah mulai merasakan "kesulitan" yang sama. Sebelumnya kita masih tergolong kelas menengah, bisa saja saat ini kita sudah turun kelas menjadi kelas bawah.

Tidak berlebihan, dalam hal ini, kalau dikatakan bahwa memang kita harus berjuang dan berjuang dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Kehidupan serba glamor dan hedonis ini, terkadang mendorong kita untuk memaksakan diri "mengangkangi" kemampuan yang ada pada diri kita.

Tidak sedikit anak negeri ini, terlebih yang tergolong dalam kelas menengah dan kelas bawah yang harus memaksakan diri untuk ikut memerankan diri dengan gaya "glamor dan hedonis" tersebut. 

Secara sederhana, dalam memenuhi kebutuhan akan komunikasi saja, yakni membeli handphone, mungkin kita belum mampu membeli handphone merek tertentu yang mengangkat "gengsi", namun karena adanya dorongan lingkungan yang menampilkan diri dengan gaya "glamor dan hedonis", sehingga kita terkadang memaksakan diri untuk membeli handphone dengan merek yang "bergengsi" tersebut, walaupun membelinya secara kredit atau membeli pada toko yang menawarkan harga sedikit miring, karena handphone tersebut tidak dilengkapi dengan garansi dan kelengkapan penjualan sebagaimana lazimnya.

Tidak sedikit emak-emak yang memaksakan diri untuk menenteng "tas tangan" yang bermerek atau yang tergolong kualitas kelas dua, namun harganya masih relatif mahal. Ini semua, karena lagi-lagi adanya dorongan gaya hidup glamor dan hedonis tersebut, baik dorongan dari luar maupun dari diri sendiri.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi dinamika yang melanda anak negeri ini yang tergolong kelas menengah dan bawah tersebut. Baik dalam memenuhi kebutuhan sekunder atau kebutuhan sekunder yang sudah tergolong dalam kebutuhan primer maupun dalam memenuhi kebutuhan pokok sendiri. 

Ada karena Unsur Terpaksa.

Bila disimak, bahwa tidak semua pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh kalangan kelas menengah dan bawah tersebut, karena mereka memang sudah mampu dan atau karena memang mereka sudah benar-benar mempunyai cuan/uang yang cukup, tetapi "terkadang" karena ada unsur "kerterpaksaan" dan juga karena ada unsur dorongan lingkungan yang "memaksa" mereka.

Saat ini, tidak heran bila di suatu rumah tangga, mempunyai tiga sampai 5 motor atau tidak jarang dalam satu rumah tangga, mempunyai dua mobil atau lebih. Bila didalami, sebagian besar dari kalangan kelas menengah dan bawah tersebut, dapat memiliki kendaraan tersebut, karena membeli "seken", dan atau membeli kredit. Hal itu mereka lakukan, karena memang mereka membutuhkannya.

Berdasarkan data yang ada, sekitar 70-80 persen pembelian kendaraan roda empat (mobil) dilakukan secara kredit. Begitu juga dengan motor, ini semua karena didorong adanya kemudahan dalam memperoleh kredit bahkan terkadang tidak diwajibkan untuk membayar DP pun bisa. 

Sering saya berguyon, jangan "menyuruh" anak membeli rokok lewat dealer motor, nanti pulangnya bukan rokok yang dibeli tetapi yang dibeli justru motor (intermeso saja), "saking" mudahnya mendapatkan kredit motor.

Sehingga tidak jarang, kalau kebanyakan kalangan kelas menegah dan bawah ini menunda membayar atau menunggak pajak kendaraannya. Bila ditelusuri terkadang ada yang menunggak 2-5 tahun bahkan ada yang tidak membayar pajak sama sekali, terutama bagi pemilik kendaraan yang tinggal di dusun atau di desa.

Di kalangan kelas menengah terlebih kelas bawah, sepertinya membeli secara kredit sudah menjadi tren. Di kalangan emak-emak membeli prabot dapur pun terkadang secara kredit, apalagi membeli barang kebutuhan sekunder, seperti TV, dan lainnya.

Langkah Bijak!

Di pihak kelas menengah dan bawah harus bijak dalam berbelanja, belanja sesuai dengan kebutuhan, jangan memaksakan diri, jangan tergoda bujuk rayuan iklan, jangan tergoda oleh kehidupan yang serba glamor dan hedonis.

Berbelanja hemat agar cuan/uang yang dimiliki bisa dicukup-cukupkan, dahulukan kebutuhan primer dan atau kebutuhan sandang untuk menjaga kondisi agar tetap fit dan sehat.

Kesampingkan terlebih dahulu membeli dengan dorongan aspek gengsi dan ikut-ikutan "ber-gaya", kesampingkan terlebih dahulu membeli denga cara kredit, mana ada cuan/uang itulah yang kita belanjakan.

Membeli dalam ukuran atau size kecil atau mini harus dibiasakan, karena kita tidak memiliki cuang/uang yang cukup untuk membeli dalam ukuran besar, dan karena kita juga akan memenuhi kebutuhan akan barang lain yang memang harus dibeli.

Membeli dalam kapasitas atau jumlah atau ukuran kecil, memang lebih mahal bila kita membeli dalam kapasitan atau jumlah atau ukuran yang lebih besar. Namun, inilah fakta yang harus kita hadapi!

Jika selama ini, kita sudah setiap bulan meng-ansur atau mebayar cicilan barang yang kita beli secara kredit tersbut, maka saat ini kita harus bisa menahan diri untuk menambah kredit atau top-up kredit di bank atau pada lembaga keuangan lain, apabila benar-benar tidak terpaksa.

Usahakan jangan membayar cicilan atau membayar ansuran kredit terlambat dari waktu yang telah ditentukan, agar terhindar dari denda. Jika terlambat, maka akan menambah beban kita sendiri. Prioritaskan membayar cicilan atau ansuran kredit atas pemeblian barang yang sudah kita lakukan tersebut.

Di pihak pemerintah, dimohon memberikan berbagai keringan, seperti keringanan pajak kendaraan, tidak dikenakan denda bila terlambat membayar, dan atau bisa juga dilakukan pemutihan.

Rencana kita akan menaikkan PPn tahun 2025 nanti, mungkin perlu dipertimbangkan lagi, iuran Tapera dan Asunrasi kendaraan yang akan diberlakukan tersebut, mungkin perlu ditunda sambil menunggu kondisi membaik.

Program bantuan sosial harus diperbanyak dan diefektifkan, agar kalangan menengah dan bawah dapat menambah penghasilannya atau menambah cuan untuk dibelanjakannya. Saudara kita yang mampu harus diketuk hatinya untuk memperbanyak pemberian dalam bentuk filantropi dan sedekah.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah mari kita saling bahu membahu mencarikan solusi terhadap kondisi yang dihadapi oleh anak negeri ini yang tergolong dalam kelas menengah dan bawah tersebut, agar mereka dan mungkin juga kita termasuk didalamnya dapat keluar dari kesulitan yang dihadapi tersebut. Semoga!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun