Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Fenomena "Makan Tabungan" dan Menahan Konsumsi Makin Marak?

26 Juni 2024   09:08 Diperbarui: 30 Juni 2024   21:46 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI "makan tabungan" dan menahan konsumsi | SHUTTERSTOCK/EGGEEGG via Kompas.com

Kini pasar cenrung sepi, dan "kegairahan" pelaku bisnis dalam melakoni unit bisnisnya mulai menurun. Kondisi ini hampir dialami oleh semua daerah yang ada di negeri ini.  

Fenomena tersebut terjadi, karena masyarakat yang tergolong kelas (ekonomi) menengah terlebih kelas (ekonomi) bawah beberapa tahun terakhir sudah mengurangi  konsumsinya, karena pendapatan mereka tergerus dan atau turun. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melakukan konsumsi, mereka terpaksa "mengorek tabungan" atau "makan tabungan"

Bila disimak tidak sedikit masyarakat yang tergolong kelas memengah bawah dalam memenuhi kebutuhan atau melakukan konsumsi dengan "makan tabungan". Kemudian tidak sedikit pula masyarakat yang mengurangi konsumsi dan atau menahan konsumsi karena tidak memiliki cuan yang cukup.

Pendapatan Turun.

Pendapatan turun yang menyebabkan masyarakat "makan tabungan" tersebut sudah berlangsung dua tahun terakhir ini. Mandiri Spending Index (MSI) mencatat tren masyarakat kelas menegah bawah "makan tabungan" sudah terjadi  sejak April 2023 dan masih akan berlanjut hingga tahun 2024 (Infobanknews.com, 20 Desember 2024)

CNBCIndonesia.com, 7 Juni 2024, menyitir pernyataan Ekonomi UI Telisa Falianty, memang dari data makro ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Namun jika ditilik lebih mendalam ternyata terdapat ketimpangan antar kelas masyarakat. Kondisi guncangan ekonomi  paling berdampak pada tekanan daya beli kelas menengah bawah, padahal kelompok ini merupakan penggerak ekonomi domestik terbesar.

Semua kelas masyarakat Indonesia mengalami penurunan kondisi penghasilan terutama kelas menengah  bawah. Berdasarkan hasil survei, kelas menengah bawah yang memiliki penghasilan Rp. 2,1 juta hingga Rp. 4 juta per bulan, mencatat penurunan indeks penghasilan saat ini paling tajam, pada Mei yaitu hingga 8 poin. Sementara kelompok di bawahnya, penghasilan Rp. 1 juta -- Rp. 2 juta, tergerus tipis. Sedangkan konsumen dengan pengeluaran di atas Rp. 4 juta  dan di atas Rp. 5 juta, juga turun 1,4 poin dan 4,4 poin (bloomberg Technoz, 10 Juni 2024)

Pendapatan masyarakat mengalami penurunan tersebut, sebenarnya mulai terjadi pada saat pandemi dan terus bertahan sampai saat ini. Tidak sedikit pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan atau diberhentikan sepihak pada tempat mereka bekerja dengan alasan tidak mampu lagi membayar gaji/honor. Kemudian, bagi masyarakat yang memperoleh pendapatan dari melakukan bisnis, bisnisnya stagnan dan turunnya permintaan atau daya beli, sehingga menyebabkan pendapatan mereka  ikut menurun.

Tidak hanya itu, turunnya pendapatan masyarakat juga disebabkan oleh adanya kecendrungan harga-harga terus naik, ditambah adanya beban yang tidak kecil yang harus mereka pikul. Beban potongan ini dan itu, potongan pajak (PPh), adanya kenaikan PPN, adanya potongan Tapera akhir-akhir ini dan katanya sebentar lagi akan ada pula potongan kepemilikan tanah bagi pekerja. Dengan demikian,  pendapatan masyarakat mengecil dan atau secara riil pendapatan masyarakar turun.

Contoh Beban Nyata Saja.

Dalam fenomena yang ada, kita bisa menyimak apa yang dirasakan saudara kita dan bahkan kita bisa merasakan sendiri  betapa "berat"nya menghadapi kondisi saat ini.

Contoh sederhana dalam satu keluarga dengan lima anggota keluarga (ibu, ayah dan tiga anak), dalam keluarga tersebut hanya sang ayah yang mencari nafkah atau bekerja. Sang ayah bekerja dengan pendapatan lebih kurang Rp. 5 juta per bulan. 

Bila dirunut, uang sebesar itu, jika mereka akan memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, mungkin tidak cukup, maka terpaksa sang ayah memutar otak bagaimana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan pendapatan sebesar itu.

Belum lagi, jika sang anak sudah ada yang sekolah, dan kuliah, maka jelas sang ayah akan kewalahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, sang ayah harus memprioritaskan konsumsi dasarnya terlebih dahulu. Belum lagi bila mereka harus membayar cicilan kendaraan, katakanlah kendaraan roda dua, maka beban mereka menjadi semakin berat.

Contoh lagi ada satu keluarga yang mempunyai tiga anak, dan  anaknya sudah kuliah semua, sementara yang bekerja dalam satu keluarga tersebut hanya sang ayah yang berpengahsilan agak lumayan yakni lebih kurang Rp. 15 juta per bulan yang diperolehnya dari pendapatannya sebagi pekerja pokok, bekerja tambahan sebagai konsultan dan tenaga ahli atau ada yang sebagai pebisnis (pekerjaan sampingan). Setelah dicermati ternyata penghasilan sebesra itu masih juga belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Untuk itu, upaya yang mereka harus lakukan adalah dengan mencukup-cukupkannya saja. Skala prioritas harus mereka utamakan, misalnya membayar cicilan kendaraan dan juga cicilan rumah (apabila mereka ada cicilan kendaraan dan rumah), menyisihkan untuk pembiayaan pendidikan anak-nya, dan kebutuhan yang sangat mendasarnya (makan-minum), bila masih ada kelebihan baru mereka dapat memenuhi kebutuhan lainnya.

Suatu gambaran kesulitan masyarakat yang tergolong kelas menegah dan bawah. Suatu fenomena yang menggambarkan hal tersebut kebanyakan melanda anak negeri ini. Suatu dinamika kehidupan anak negeri ini yang mereka harus hadapi.

Dengan demikian, kehidupan anak negeri ini semakin berat, fenomena "makan tabungan" tersebut wajar bahkan lama kelamaan tabungan habis, maka tidak bisa lagi "makan tabungan", yang ada mereka harus menahan konsumsi, melakukan konsumsi untuk kebutuhan yang sangat mendasar saja, dengan mengurangi intensitas dan kapasitas konsumsi dari konsumsi yang biasa  mereka lakukan.

Lakukan Terobosan 

Dalam mencari solusi persoalan yang satu ini, pihak yang berwenang dan atau pemerintah (pihak eksekutif dan legeslatif) harus sigap. Sedapat mungkin menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan jalan mendorong variabel ekonomi yang akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, seperti invesatsi dan ekspor.

Menggiring investasi yang menciptakan multiplier effect yang besar, bukan investasi yang tidak banyak menyerap tenaga kerja, bukan investasi padat modal, bukan investasi yang diimplementasikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang memakan dana "gede" dan memberi imbas kecil bagi perekonomian.

Harus ada upaya meringankan beban anak negeri ini, dengan tidak terus menaikkan variabel beban tersebut, seperti akan adanya kenaikan PPN, akan adanya kenaikan BBM, akan adanya tambahan potongan ini dan itu.

Kemudian langkah yang juga tak kalah penting adalah bagaimana menekan ketimpangan yang cendrung  membesar yang maish terjadi dibelantika dunia kerja dan di kalangan masyarakat luas.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah harus ada upaya mempertahankan unit bisnis pelaku bisnis yang masih bertahan sampai saat ini, agar mereka tetap dapat mempertahankan pekerjanya dan dapat bertahan dengan pendapatan yang diperolehnya. Selamat berjuang!!!!!

Oleh Amidi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun