Oleh Amidi
Berbeda dengan di luar negeri, di Indonesia Tunjangan Hari Raya (THR) sudah tak asing lagi, karena pemerintah telah mewajibkan pemberi kerja/perusahaan untuk memberikannya. Namun, di luar negeri, boleh dibilang tidak mengenal THR, kalau pun ada, hanya berupa uang vakansi yang akan dibayar pada waktu tertentu.
Di Belanda secara harfiah tidak ada THR, namun ada vakantiegeld atau uang pakansi atau uang liburan yang dipotong perusahaan dari gaji karyawan setiap bulan sebesar 8 persen dan akan dicairkan pada bulan Mei atau Juni. Selain itu ada juga perusahaan yang memberikan gaji ke-13 setiap bulan Desember. (id.quora.com)
Di Malaysia pun demikian, sebelumnya tidak ada, baru beberapa tahun ini Pemerintah Malaysia memberikan THR kepada PNS dan pensiunan yang dikenal dengan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Idul Fitri sebesar RM500 atau Rp1.700.000 kepada semua PNS, sementara perusahaan swasta belum memberikan THR (Antara News, 5 April 2022).
Di Inggris, THR akan diberikan sebagai bonus tahunan, berupa profit produk perusahaan. Setiap bulan profit bulanan dikumpulkan, pada bulan Desember menjelang Natal baru dibagikan. Sementara di Singapura dan di Jepang tidak mengenal THR sama sekali (idxchannel.com, 04 April 2023 dan os-selnajaya.com)
THR Menjadi Tradisi
THR di Indonesia saat ini sudah menjadi tradisi, baik bagi pemberi maupun bagi penerima. Sebagian pemberi kerja sudah peduli dengan THR, mereka sudah memasukkan THR ke dalam anggaran dan akan memberikannya sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Begitu datangnya bulan Ramadan, pekerja/buruh mulai mengharapkan THR, mereka mulai merancang/membuat daftar belanja dari uang THR yang akan mereka terima.Â
Perlu diketahui bahwa uang THR tersebut tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi dialokasikan kepada tanggunggannya dan digunakan juga untuk membantu keluarga. Bahkan, THR pun terkadang dijadikan mereka untuk keperluan pulang kampung (mudik) termasuklah berbagi kepada keluarganya dikampung yang sudah merupakan tradisi dan menjadi kebanggaan.
Saking tradisi ini sudah melekat, sampai ada yang rela menipu diri sendiri. Mojok.co mengungkap cerita seorang mahasiswa DO rela meminjam uang untuk keperluan mudik dan untuk memberikan THR kepada saudaranya saat lebaran, mahasiswa tersebut mengaku sudah sukses, padahal hidupnya masih "mengkis-mengkis" diperantauan. (mojok.co, 20 Maret 2024).
Bayangkan jika seandainya THR yang akan diberikan oleh pemberi kerja tersebut tidak sesuai dengan yang pernah didapatkan mereka sebelumnya, THR diberikan ala kadarnya, THR diharapkan tak kunjung tiba, bisa dirasakan sendiri, betapa kecewa pekerja/buruh.
Ketentuan THR
THR wajib diberikan perusahaan kepada pekerja/buruh yang dipekerjakannya dan wajib diberikan H-7 Lebaran/Hari Raya. Hal ini sudah diatur dalam Permenaker Nomor 6 tahun 2016, bahwa pekerja/buruh yang berhak menerima THR adalah yang memiliki masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, baik hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pekerja buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesauai perauran perusahaan. Bagi pekerja yang masa kerjanya 12 bulan atau lebih diberikan THR 1 bulan upah. Sedangkan pekerja yang waktu kerjanya 1 bulan tapi kurang dari 12 bulan, maka diberikan secaa proporsional.
Kemudian dipertegas pula bahwa Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) tersebut untuk semua agama, THR Hari Raya Idul Fitri bagi karyawan beragama Islam, Hari Raya Natal bagi karyawan beragama Kristen Khatolik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi karyawan beragama Hindu, Hari Raya Waisak bagi karyawan beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi karyawan beragama Konghucu.
Di lapangan tidak demikian adanya, ada yang memberikan THR ala kadarnya hanya berupa bingkisan (bahan pangan saja), ada yang memberikan THR tidak sesuai dengan ketentuan, ada yang terlambat/menunda THR, memang ada yang memberikan THR sesuai ketentuan bahkan ada yang memberikan THR 2 kali bahkan 3 kali dari yang telah ditetapkan pemerintah, namun jumlahnya tidak banyak.
Dalam hal ini, tahun lalu saja, Kemnaker telah menerima 2.369 pengaduan dari masyarakat terkait pembayaran THR, berdasarkan laporan tersebut, tercatat 1.529 perusahaan dianggap lalai memberikan THR, 780 THR dibayarkan tidak sesuai ketentuan, 392 THR terlambat dibayarkan, dan 1.197 THR tidak dibayarkan sama sekali. (rri.co.id, 29 April 2023)
Saya belum mendapatkan data berapa banyak tahun ini perusahaan yang tidak memberikan THR tersebut, namun yang ada posko pengaduan yang dilakukan oleh pihak kemnaker maupun oleh dinas/SKPD yang ada, itu pun entah langsung ditindak lanjuti atau tidak, yang jelas persoalan disekitar THR ini dari tahun ke tahun terus mengemuka.
Kompas.com, 9 April 2024, menyitir bahwa di Jakarta ada beberapa perusahaan tidak membayar THR, menurut Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi DKI ada beberapa alasan, karena perusahaan pailit, kesulitan keuangan, pengurangan pegawai.Â
Finance.detik.com, 10 April 2024, mengemukakan bahwa Ketua Kadin Arsjad Rasjid meminta pengusaha terbuka soal THR, jika memang mengalami kondisi berat seperti sektor tekstil.Â
Detiksulsel.com, 5 April 2024, pun memberitakan bahwa ASN lingkup Pemkab Bone, Sulawesi Selatan mengeluhkan pembayaran THR terlambat cair, baru cair hanya untuk Organisasi Petangkat Daerah (OPD) tertentu saja
THR tidak hanya bertujuan untuk membantu pekerja/buruh memenuhi kebutuhan dan keluarganya dalam merayakan Lebaran/Hari Raya Keagamaan saja, tetapi THR pun mampu mendorong peningkatan produktivitas dan rasa memiliki (sense of belonging) pekerja/buruh pasca lebaran.
Kemudian, perlu diingat bahwa pekerja/buruh merupakan bagian integral maju mundurnya suatu unit kerja/perusahaan. Hubungan industrial Pancasila harus dibangun dan dijaga, agar rasa cinta dan kemesraan antar pekerja/buruh dengan pemberi kerja terus terbangun.
Untuk itu, tahun depan, selayaknyalah semua pemberi kerja peduli dengan THR, minimal harus ada upaya untuk memberikan THR, pemberi kerja seharusnya jauh-jauh hari sudah mempersiapkan uang THR, pada saatnya tinggal memberikan/membayar saja.Â
Jika ada persoalan keuangan, bisa dikomunikasikan dengan pekerja/buruh yang penting terbuka dan jujur, saya yakin pekerja/buruh akan memaklumi jika memang ada persoalan dengan keuangan. Namun, jika ada unsur kesengajaan menghindar THR, maka tidak dibenarkan.
Bagaimana dengan perusahaan yang tidak mengindahkan Permenaker tersebut?Â
Sampai saat ini, saya belum mendapat informasi pemberi kerja/perusahaan yang tidak membayar THR kena sanksi tegas. Saya menyimak, tahu lalu, memang ada sanksi bagi perusahaan, namun sanksi tersebut menurut saya belum memberi efek "jera".
Seperti bagi yang terlambat membayar THR akan dikenakan denda 5 persen dari total THR yang harus dibayarkan sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar.Â
Ada teguran tertulis, ada pula sanksi adminsitratif, pembatasan operasional/kegiatan usaha dan baru ada ancaman penutupan. Pasca Ramadhan ini publik menunggu pemberian sanksi tersebut.
Menurut hemat saya, sudah selayaknya persoalan ini disolusi dengan bijak. Untuk memberi efek "jera" memang dirasakan perlu ada sanksi pidana dan/atau menutup perusahaan. Namun harus hati-hati, bisa "bumerang", karena pemerintah masih perlu dengan perusahaan dalam rangka menekan jumlah penganguran dan meningkatkan penerimaan negara.
Untuk itu, karena THR masih jauh dari harapan, maka ke depan akan lebih bijak jika dilakukan pengawasan rutin jauh-jauh hari, secara bersama-sama mencari solusi persoalan yang dihadapi perusahaan, menekan biaya siluman (illegal cost) dan mengerem ulah invisble hand yang akan menambah beban perusahaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah perusahaan harus jujur dan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H