Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pada Saat Kapan "Produk Gratis" Masih Diminati Konsumen atau Pemilih?

27 Februari 2024   06:04 Diperbarui: 28 Februari 2024   13:10 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Amidi

Produk yang diperoleh dengan cara "gratis", dapat dipastikan sebagian besar disukai anak negeri ini selaku konsumen (pemilih), baik itu produk bisnis maupun produk politik. Seperti: berobat gratis dan lainnya.

Untuk itu tidak heran, kalau calon kepala negara, calon kepala daerah, calon legeslatif, bahkan calon kepala desa pun berlomba-lomba menjual produk atau program "gratis" tersebut. Misalnya berobat gratis dan lainnya itu.

Di salah satu provinsi di negeri ini, pada tahun 2008, yang lalu ada salah satu calon kepala daerahnya menjual program "sekolah gratis dan berobat gratis", bahkan program ini menjadi produk unggulan calon kepala daerah tersebut, apalagi pada saat itu program ini terbilang masih langkah.

Begitu program ini di jual dan dipromosikan/dikampanyekan, sebagian besar konsumen (pemilih) menyambut baik bahkan antusias.

Singkat cerita, calon kepala daerah yang menjual produk gratis tersebut pada saat pemungutan suara memperoleh suara terbanyak, sehingga ia dinyatakan/disahkan oleh KPU sebagai pemenang.

Mengapa Produk Gratis Laris.

Bila dicermati, setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, yakni faktor kemiskinan, faktor pendidikan konsumen (pemilih), dan faktor lainnya yang tidak semua disajikan disini.

Faktor kemiskinan, dominan sebagai pendorong konsumen (pemilih) menyukai produk gratis tersebut, terlebih untuk golongan kemiskinan mutlak atau yang memang berada dibawah garis kemiskinan (lihat macam kemiskinan dalam detik.com, 03 Januari 2022).

Mengapa? Karena mereka memang tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara layak atas ragam kebutuhannya, termasuk berobat dan lainnya itu. Sekali lagi, produk gratis, itu laris manis dikalangan kelompok ini.

Faktor pendidikan, ada hubungannya dengan pendapatan dan pendapatan ada hubungannya dengan kemiskinan.

Jika pendidikan konsumen (pemilih) SMA ke atas, maka ada kecendrungan mereka akan memperoleh pendapatan yang lebih dibandingkan dengan mereka yang berpendikan SMA ke bawah, dengan pendapatan yang "lumayan" tersebut, mungkin mereka sudah tidak tergolong lagi ke dalam kemiskinan mutlak tersebut.

Namun, karena sebagian besar konsumen (pemilih) berpendikan SMA ke bawah, berdasarkan data ada 30 persen lebih (lihat databoks, 27 November 2023), maka produk gratis yang ditawarkan oleh calon, sangat diminati dan mereka berusaha untuk memperolehnya.

Faktor lainnya adalah sikap mental. Bila ditelusuri, faktor yang satu ini juga mendorong anak negeri ini menyukai produk gratis tersebut.

Jangankan produk gratis, subsidi untuk orang miskin pun terkadang mereka yang mampu, mau membeli/mendapatkan produk subsidi untuk orang miskin tersebut. Sehingga produk gratis dikalangan yang mampu pun masih laris manis, karena dorongan sikap mental yang kurang baik tersebut.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya dicermati adalah faktor "keberhasilan/kegagalan produk gratis" yang dijual oleh pendahulu sebelumnya atau calon yang sudah menang dengan menjual produk gratis tersebut.

Jika produk gratis yang ditawarkan calon yang menang/terpilih dalam persaingan antar calon tersebut, berhasil dilaksanakan selama priode atau masa ia menjabat, maka produk gratis yang akan dijual oleh calon yang lain pada periode berikutnya masih akan laku.

Namun, bila produk gratis yang dijual calon tersebut "gagal" alias banyak menimbulkan masalah, maka produk gratis tersebut tidak diminati lagi, alias produk gratis yang akan kita tawarkan kepada konsumen (pemilih) sudah tidak ampuh lagi.

Dinamika Produk Gratis.

Bila disimak, produk gratis yang dijual atau ditawarkan calon tidak semuanya berjalan mulus, alias tidak semuanya berhasil baik, ada yang bermasalah ada yang gagal.

Pengalaman pada suatu Provinsi di negeri ini, kepala daerah yang menang/terpilih yang menjual/menawarkan produk gratis tersebut di atas, pada saat produk gratis akan dilaksanakan ternyata mereka belum mempunyai konsep yang matang, yang penting produk gratis harus dilaksanakan/dijalankan.

Sembari mematangkan konsep dan mencari model pelaksanaan, ia menemukan pola yang dapat meringankan anggaran, yakni dengan jalan menerapkan "dana sharing" atau berbagi menanggung dana kepada kabupeten/kota yang ada di Provinsi tersebut. Sehingga, produk gratis terdebut berjalan.

Namun, dalam perjalanannya, ternyata menimbulkan masalah, karena kabupten/kota merasa berkeberatan dalam mengalokasikan anggaran sharing tersebut, sehingga untuk membayar kepada isntitusi (RS) yang melayani produk gratis tersebut mengalami hambatan alias "macet'.

Singkat cerita, tahun pertama dan kedua lancar, tahun ketiga dan seterusnya terkendala dengan "cuan" untuk melayani permintaan terhadap produk gratis tersebut.

Sampai Kapan Diminati?

Berdasarkan pengalaman, walaupun faktor penyebab produk gratis laris manis masih mengganjal, namun jika ada masalah dalam melayani permintaan produk gratis tersebut, maka konsumen akan "kapok" untuk membeli produk gratis tersebut dengan kata lain produk gratis yang akan calon tawarkan lagi sudah mulai mengalami "decline" atau menurun bahkan sampai pada titik nol alias sudah tidak diminati lagi oleh konsumen (pemilih).

Sebagai contoh ada yang sudah melayani produk gratis, namun dinilai masih banyak menyisahkan masalah, tidak menjamin purna jual, sehingga produk gratis yang sama yang ditawarkan calon lain pada priode beriktunya sudah tidak mempan lagi alias sudah tidak diminati lagi.

Untung ada calon yang kreatif melakukan inovasi dengan menawarkan produk "gratis yang baru", sehingga sepertinya masih diminati, terlepas ada faktor "XWZ" nya atau tidak!

Begitu juga sebaliknya, jika faktor penyebab laris manisnya permintaan produk gratis mengalami perbaikan, konsumen (pemilih) sudah keluar dari siklus kemiskinan dan sudah mulai ada perbaikan tingkat pendidikan/pendapatan serta perbaikan sikap mental, maka produk gratis tersebut sudah tidak diminati lagi oleh konsumen (pemilih).

Bagaimana kedepannya?

Sebagaimana yang terjadi dalam unit bisnis, jika palaku bisnis terus menerus menyediakan produk grais, maka mereka akan colaps dan dipihak konsumen juga akan jenuh bahkan ragu, jangan-jangan produk yang digratiskan tersebut karena sudah kedaluwarsa atau karena ada sesuatunya.

Begitu juga dalam belantika dunia perpolitikan, jika produk gratis terus disediakan, maka bukan tidak mungkin negara/daerah tidak sanggup menyediakan anggaran yang tidak kecil tersebut, yang akan mengganggu stabilitas keuangan-nya.

Idealnya pemberian produk gratis harus dijalankan dengan baik, agar calon yang menang/terpilih yang mengusung produk gratis tersebut, benar-benar dapat menjamin purna jualnya dan agar calon yang menang/terpilih dapat memberi kepuasan kepada konsumen (pemilih) dan yang lebih penting, jika produk gratis ini berjalan dengan baik, maka calon lain yang akan menjual produk gratis pada masa yang akan datang juga tetap diminati.

Sebaiknya memberikan produk gratis jangan sampai membuat konsumen (pemilih) menjadi malas atau tidak produktif, sebaiknya program yang dijual/ditawarkan adalah program yang mendorong konsumen (pemilih) produktif dan dapat dijalankan dengan baik serta didukung oleh berbagai faktor pendukungnya (anggaran, SDM dan lainnya), agar dapat memenuhi harapan konsumen (pemilih), dengan demikian diharapkan semua komponen di negeri ini akan merasa batter-off alias puas. Semoga!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun