Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Anak Negeri Ini Terjerembab ke Dalam Fenomena Makan Tabungan?

26 Desember 2023   06:39 Diperbarui: 26 Desember 2023   07:18 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lapangan sering diketemukan , misalnya mereka bekerja pada unit bisnis tertentu yang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak ringan, hanya diberi imbalan jasa sekitar Rp. 2.000.000, - sampai dengan Rp. 2.500.000,- per bulan, belum lagi terkadang gaji/honor mereka tersebut dipotong ini dan itu-lah. Kasihan,bukan?

Menceati fenomena ini memang sedih, tapi apa mau di kata, mereka memang membutuhkan pekerjaan, mereka butuh makan, lapangan pekerjaan memang masih sulit, sehingga terjadi permintaan akan jasa tenaga kerja (lowongan pekerjaan)  lebih kecil bahkan jauh lebih kecil dari penawaran (pelamar) yang ada. Kondisi ini  memang memberi peluang bagi pelaku bisnis untuk membayar  sesuai versi-nya.

Harga-harga kebutuhan pokok harus terus dipantau, begitu juga dengan  stok, dan lakukan secara ruitn operasi pasar,  jangan hanya pada saat hari-hari besar keagamaan saja. Stop, pernyataan stok cukup di atas kertas, namun stok harus dipastikan benar-benar cukup dilapangan, agar harga tidak cendrung naik dan agar pedagang tidak bermain. Selain itu, pastikan distribusi barang lancar dan sedapat mungkin melakukan sidak sewaktu-waktu agar tidak terjadi penimbunan.

Pihak yang berkompeten, harus dapat mendorong terus terciptanya lapangan pekerjaan bagi pengangguran yang masih terus memburu pekerjaan. Sekolah/Perguruan Tinggi yang memproduksi tamatan yang yang langsung mencari pekerjaan tersebut harus diikuti dengan lapangan pekerjaan yang memadai dan pastikan bahwa setiap ada unit bisnis baru yang berdiri di negeri ini, dipihak mereka harus sedapat mungkin menggunakan tenaga kerja lokal.

Memang jika disimak, bahwa sebagian besar masyarakat  yang memiliki aset (seperti;mobil)  tersebut, sebenarnya tidak semata-mata karena mereka sejahtera, melainkan  mereka hanya sejahtera semu (lihat Amidi dalam kompasina.com, tentang beberapa tulisan yang berhubungan kesejahteraan semua tersebut), karena mereka kebanyakan membeli aset tersebut secara kredit yang nota bene terkadang memaksa untuk menekan pengeluaran-nya dalam mencicil kreditnya tersebut.

Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, pihak yang berkompeten, pihak yang bertanggung jawab kepada warga negara-nya harus  terus memantau perkembangan hidup dan kehidupan mereka, bukankah dalam UUD 1945  pasal 27 ayat (2) jelas dinyatakan   bahwa setiap Warga Negera Indoensia berhak atas pekerjaan  dan penghidupan "yang layak" bagi kemanusiaan. Selamat Berjuang!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun