Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Bank Asing Tutup, Apakah Pertanda Perbankan di Negeri Ini Baik-baik Saja?

24 November 2023   05:31 Diperbarui: 24 November 2023   05:51 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Amidi

Belum lenyap dari  memori anak negeri ini, kasus Pemerintah Amerika Serikat menutup dan mengambil alih tiga bank yakni Silicon Valley Bank, Silvatage Bank dan Signature Bank.  Adanya penutupan  tiga bank tersebut ditanggapi oleh  beberapa pengamat dan analis, tidak berdampak banyak bagi sektor keuangan atau perbankan di negeri ini.Namun, saya tetap menyarankan agar kita jangan terlena dan perlu mengedepankan faktor pengawasan dan kepercayaan. (lihat Amidi dalam Kompasiana.com,  27 maret 2023)

Kini anak negeri ini kembali disuguhi informasi Bank Asing hengkang  dari negeri ini. Zafanya  Aprilia mensinyalir bahwa Citibank, N.A. Indonesia (Citi Indoensia) telah resmi menutup bisnis consumer bankning setelah penjualan aset dan liabilitas kepada PT Bank UOB Indonesia rampung. Usai penjualan ini, Citi Indoneisa kedepannya akan fokus ke binsis corporate banking dan tetap akan menyalurkan kredit consumer secara tidak langsung. Berdasarkan  strategi global Citigroup, mereka akan menetapkan  hanya beberapa bisnis consumer dan retail di luar Amerika Utara yang akan tetap beroperasi di Hongkong, Singapura, Inggris dan Timur Tengah (cnbc Indonesia.com,  21 November 2023).

Kemudian pada bagian lain media mengungkap bahwa tidak sedikit bank BPR bangkrut atau  tutup. Fenomena  BPR tutup ini bukan terjadi pada tahun ini saja,namun sebelumnya sudah ada. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia milik Otoritas Jasa Keuangan, dalam kurun lima tahun yakni sejak 2019 hingga Agustus 2023, terjadi penurunan jumlah BPR di negeri ini. Sejak 2019 jumlah BPR mencapai puncaknya 1.545 unit. Namun, sejak saat itu, terjadi penurunan yang berkelanjutan, pada tahun 2020, jumlah BPR  turun menjadi 1.506 saja dan pada tahun 2021  turun lagi menjadi 1.468  unit (lihat Arlina Laras, bisnis.com,21 November 2023).

Penelurusan Kebelakang.

Bermula dengan adanya paket kebijakan Oktober (Pakto 1988) yang memungkinkan bank akan menjamur, karena  hanya bermodal Rp 10 miliar pemilik modal  dapat mendirikan bank. Sehingga pada tahun 1988 terdapat 111 bank umum dan terus bertambah  menjadi 240 bank pada tahun 1994. Akibat krisis moneter/ekonomi  jumlah bank  menyusut drastis menjadi 151 bank  (databoks.katadata.co.id, 26 Maret 2019).

Singkat kata, pada saat itu, dunia perbankan di negeri ini porak poranda, akibat dari penutupan bank-bank tersebut pemerintah harus memberi bantuan untuk meredam "emosi" nasabah dengan bantuan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), uang negara terkuras dan kebijakan ini sampai kini masih menyisahkan persoalan dalam belantika dunia perbankan di negeri ini.

 

Mengapa Bank Tutup?

Pada saat krisis moneter/ekonomi tersebut, inflasi melambung tinggu, nilai rupiah anjlok tajam, dan beberapa variabel ekonomi makro lainnya terganggu, sehingga menyebabkan perekonomian negeri ini pada saat itu benar-benar terpuruk. Bank "sepi", karena nasabah nyaris tidak ada yang memarkirkan dana-nya di bank, yang ada nasabah terus menarik uang-nya untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan lainnya, sehingga bank kesulitan dana untuk memenuhi kewajiban jangka pendek-nya (likuiditas).

Singkat cerita, pada saat itu "kepercayaan" nasabah terhadap bank mulai berada pada titik nadir terendah, sehingga tidak lama terjadi penarikan/pengambilan uang di bank secara besar-besaran (rush), wajar kalau pada saat itu bank-bank tidak sedikit yang kesulitan likuiditas bahkan sampai menggiring bank colaps atau tutup.

Kondisi tersebut berlangsung cukup lama, namun setelah adanya suntikan dana dari pemerintah (BLBI), bank-bank yang "sakit" mulai bisa disehatkan, bank yang masih batuk-batuk alias kesulitan dana dilakukan penggabungan (merger), sehingga kondisi penbankan di negeri ini mulai berangsur-angsur pulih. Kepercayaan nasabah mulai tumbuh kembali.

Namun, beberapa tahun belakangan ini, kembali dunia perbankan dihadapkan pada "gangguan" kembali, yakni dengan adanya pandemi, yang menyebabkan pendapatan anak negeri ini, baik  selaku pelaku bisnis maupun selaku pekerja, mengalami penurunan pendapatan. Pelaku bisnis menghadapi kondisi pasar yang sepi menyebakan pendapatannya turun, pekerja tidak sedikit yang terkena PHK dan atau termasuklah adanya pengurangan komponen konpensasi yang dilakukan pelaku usaha tempat mereka bekerja.

Kondisi ini mempengaruhi perbankan, bank mulai kesulitan meraub dana dari nasabah yang akan memarkirkan/menyimpan dana-nya di bank, ditambah lagi nasabah yang lebih dominan menarik/mengambil simpanan-nya di bank. Sehingga pada saat itu juga, tidak heran kalau perbankan berlomba-lomba menaikkan suku bunga  simpanan dan melonggarkan suku bunga pinjaman, demi memburu nasabah, walaupun pihak bank harus menanggung resiko atas kebijakan yang mereka lakukan tersebut

Dengan demikian, tidak heran kalau saat ini ada bank yang tutup baik bank milik swasta nasional maupun bank milik swasta internasional, dan ke depan bukan tidak mungkin akan ada lagi bank yang tutup. Fenomena tutupnya suatu bank tersebut tak ubahnya tutupnya unit bisnis pada masa pandemi dan pasca pandemi, ditambah lagi dengan adanya digitalisasi dalam dunia perbankan.

Betapa tidak, dengan adanya digitalisasi dalam dunia perbankan, selain berdampak positif dalam pelalayan, juga memberi dampak negatif bagi dunia perbankan. Dalam jangka panjang akan ada pengurangan pegawai/karyawan yang tidak sedikit, akan adanya berbagai  modus operandi dalam bentuk pembobolan rekening nasabah yang akan berdampak pada menyusutnya kembali kepercayaan nasabah terhadap dunia perbankan.

Nasabah akan mulai menimbang-nimbang, mulai bertanaya-tanya. Apakah, jika saya memarkirkan/menyimpan dana saya di bank masih  aman?. Apakah dana yang saya simpan di bank nantinya masih bisa ditarik/diambil? dan berbagai pertanyaan lain yang akan menghantui perasaan nasabah.

Kondisi ini sangat memungkinkan kalau ke depan akan ada bank akan ditutup kembali dan atau akan ada bank yang colaps. Kondisi ini tidak hanya akan terjadi pada bank-bank kecil, tetapi bank yang sudah besar, dan bank yang dinyatakan sehat, bahkan sangat sehat serta perkasa pun akan menghadapi nasib yang sama, bila salah menyikapi kondisi tersebut.

Bank  Harus Sehat dan Perkasa.

Dengan demikian, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa bank-bank di negeri ini tidak dalam baik-baik saja. Untuk itu tidak ada pilihan, bank harus benar-benar sehat dan perkasa. Dengan demikian, berarti bank harus berupaya memenuhi syarat kesehatan suatu bank.

 

Bank mutlak harus meninggalkan cara-cara lama, pemilik dan atau pimpinan bank harus sedapat mungkin mencegah "moral hazard" yang sering terjadi dalam dunia perbankan, pemilik dan atau pimpinan bank harus dapat bertindak tegas terhadap orang dalam yang ikut memposisikan dirinya sebgai white collar worker dan pemilik/pimpinan bank harus dapat mengantisipasi dampak penerapan/penggunaan layanan digilatalisasi dalam dunia perbankan, jika bank akan terhindar dari penutupan atau jika bank tidak akan terancam colaps.

Pihak yang berkompeten, Pihak Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter, begitu juga dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), harus bijak dalam menyikapi fenomena yang menerpa dunia perbankan saat ini dan kedepan.

Tidak ada salahnya (maaf sekedar saran) kalau BI mulai kembali me-rating mana-mana saja bank yang dalam dirinya terjangkit penyakit atau sudah terindikasi kesulitan  likuiditas, dengan kata lain, mana-mana saja bank yang terindikasi tidak sehat, segera mengambil tindakan.

Jika akan disehatkan, sebaiknya tidak lagi membebani uang negara, kita tidak ingin kasus BLBI terulang kembali, sebaiknya lakukan dengan cara-cara pembinaan dan pengawasan yang ketat mulai saat ini.

Saya yakin, pemilik/pimpinan bank dan kita semua, tidak ingin jika bank-bank yang masih tersisa di negeri ini hasil merger dan yang bertahan dengan kemampuan/kekuatan sendiri tersebut,"terusuk" atau colaps karena tindakan kita yang salah, karena tindakan internal bank sendiri yang menciptakan ketidak percayaan nasabah terhadap bank, karena tindakan kita yang membiarkan "moral hazard" bercokol dalam dunia perbankan, karena tindakaan kita yang "terlena" dalam pembinaan dan pengawasan.

Mari kita pertahankan bank yang masih tersisa saat ini untuk mendorong laju pertumbuah ekonomi negeri ini menuju pertumbuhan yang pernah kita capai sebelum krisis moneter/ekonomi tersebut, yakni pernah mencapai angka pada kisaran 7 persen-an setahun tersebut. Selamat Berjuang!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun