unit usaha yang ada saat ini, memang "unik", hilangnya salah satu unit usaha karena calaps atau tutup, timbul beberapa unit usaha baru. Beberapa saat unit usaha tersebut dibuka, ramai dan diburun konsumen, namun tidak lama kemudian "down" dan tutup. Kini tidak sedikit hadirnya unit usaha baru dengan produk baru dan atau diferesiansi produk.
Menyimak keberadanDi Palembang sendiri, sekitar 10 tahun terakhir ditambah dan dalam rangka menangkap peluang pasca pandemi, setidaknya ada beberapa unit usaha kuliner baru modern dan atau unit usaha kuliner yang menonjolkan diferensiasi produk, seperti warung kopi, gerei es cream, warung mie dan beberapa unit usaha kuliner lainnya.
Dari beberapa unit usaha kuliner dan ritel tersebut, ada yang sudah colaps, ada yang masih bertahan. Ada yang justru terus menambah gerai atau warungnya. Ada lagi yang sedang hangat-hangatnya digandrungi konsumen terlebih konsumen anak muda, ada yang sudah mulai kesulitan mendatangkan konsumen.
Memang, jika mereka mengacu pada kesuksesan unit usaha kuliner dan ritel pendahulu tersebut, tidak heran kalau para pelaku usaha sebagai "pemain lama" dan "pemain baru" juga ingin membuka dan mengembangkan unit usaha tersebut.Â
Kini di negeri ini termasuk di Palembang juga saat ini lagi menjamurnya beberapa unit usaha kuliner baru dan ritel modern pendatang baru (ada milik anak negeri ini) dan milik group ritel yang sudah dahulu ada akan membuka cabangnya.
Saya mencermati, ada kesan bahwa di kalangan pelaku usaha yang akan membuka unit usaha baru  dan yang akan mengembangkan usaha yang sudah ada tersebut didorong oleh "rasa emosi" yang mendalam. Contoh sederhana, hadirnya salah satu ritel anak negeri ini yang didirikan/dibuka dengan maksud mengimbangi ritel modern besar yang sudah ada.
Memang ritel modern milik anak negeri ini dengan konsep bagi hasil kepada para penanam saham sesama anak negeri ini tersebut, sangat kita harapkan kehadirannya dan kita dorong perkembangannnya. Namun, karena kentalnya dorongan rasa emosi, sehingga ritel yang satu ini tidak lama bertahan.
Bila kita simak, mengapa demikian, setidaknya ada dua penyebab dominan yang melatarinya.Â
Pertama, karena ritel yang satu ini tidak bisa bersaing, baik di sisi harga maupun service dan kelengkapan produknya.Â
Kedua, karena ritel yang satu ini juga masih tergantung dengan "distributor- group ritel modern" yang sudah besar/mapan/eksis, terutama dalam hal penyediaan/pembelian produk yang akan dijualnya kembali tersebut.
Dengan demikian, jelas dari sisi harga ritel yang satu ini tidak bisa bersaing dengan ritel modern yang sudah besar/mapan/eksis tersebut, karena harga produk (untuk dijual kembali) yang dibeli oleh ritel yang satu ini ke grosir (group ritel yang sudah besar/mapan/eksis) tersebut akan lebih tinggi dari pada harga beli produk (untuk dijual kembali) oleh ritel modern yang membeli produk pada group mereka sendiri tersebut.
Belum lagi, adanya informasi bahwa masalah komitmen rekan-rekan yang menanam saham pada ritel yang satu itu, berdasarkan informasi di lapangan, terkadang mereka saja tidak membeli produk pada ritel yang satu ini, justru membeli pada unit ritel modern yang sudah tergolong besar/mapan/eksis tersebut, wajar kalau mereka (pesainga tersebut) justru semakin besar saja.
Saya melihat rasa emosi juga terpatri juga pada pelaku usaha yang sudah besar/mepan/eksis tersebut. Mereka ternyata terus membuka cabang unit usahanya alias memperbanyak gerai atau tokonya, tidak heran setiap sudut Kota di negeri ini pun terdapat gerai atau toko mereka. Sampai-sampai ada "idiom", jangan biarkan ruko atau gerai Anda terbengkalai, nanti akan disewa "unit usaha tertentu" tersebut, atau begitu ada ruko atau gerai kosong, maka akan serta merta di sewa "unit usaha tertentu" tersebut.
Tidak sedikit unit usaha yang sudah besar/mapan/eksis, baik dibidang kuliner maupun bidang ritel, terus berlomba-lomba memperbanyak gerai atau tokonya, ada yang menggaungkan konsep 100 gerai, ada yang akan merencanakan menambah 100 gerai dan seterusnya.
Bagaimana sebaiknya?
Melakoni unit usaha memang harus "telaten", "sabar" dan "optimis", kesampingkan "rasa emosi" apalagi "rasa pesimis". Jika kita ingin agar unit usaha kita tetap eksis, setidaknya kita harus pandai-pandai membaca situasi dan konsidi yang ada serta harus terus mempelajari apa "mau-nya" konsumen. Bukankah konsumen adalaah raja, konsumen/raja tersebut orang yang harus dilayani dan harus diikuti apa yang mereka butuhkan/inginkan.
Jika kita ingin gerai ritel kita tetap bertahan berdampingan dengan ritel besar yang sudah besar/mapan/eksis dan atau sudah lebih dahulu maju dan berkembang, usahakan kita dapat menyediakan ragam produk yang dibutuhkan konsumen, harga bersaing, service memuaskan, dan sedapat mungkin menciptakan "keunikan" tersendiri.
Kemudian gerai ritel yang harus kita sajikan pada saat ini, ternyata tidak hanya berupa gerai ritel saja, tetapi ia pun ternyata harus dilengkapi dengan produk pelengkap, seperti pojok makanan dan minuman yang bisa langsung disantap di tempat atau pojok-pojok yang bisa dimanfaatkan konsumen untuk bersantai sejenak selepas berlelanja atau sekedar mampir sejenak.
Kemudian, jika kita ada keinginan memperbanyak gerai atau toko, harus dipertimbangkan terlebih dahulu, karena bisa saja justru akan memperbesar biaya operasional yang tercipta. Jika memang memungkinkan memperbanyak gerai atau toko dengan tujuan mendekatkan jarak dengan konsumen dan konsumen di sana memang ternyata memungkinkan, maka langkah ini sah-sah saja. Jika sebaliknya, maka perlu dipertimbangkan kembali.
Sebaliknya, pelaku usaha juga tidak boleh terjebak dengan kondisi saat ini yang terlihat menguntungkan tersebut, karena konsumen terus ramai berdatangan, antri panjang untuk mendapatkan/membeli produk kita, namun dalam waktu tertentu kita harus antisipasi.Â
Dalam jangka panjang, akan ada kejenuhan terhadap produk yang kita jual atau mungkin kejenuhan atas konsep usaha yang kita buat, karena begitu ada produk baru yang sejenis atau konsep usaha baru yang ditawarkan pesaing kita, maka kita akan ditinggalkan.
Kuncinya adalah langkah antisipasi "perubahan", "pembaharuan", baik dari sisi produk maupun dari sisi service. Kita sudah menyaksikan sendiri, ada beberapa unit usaha kuliner dan ritel dan atau Mall yang tutup, karena adanya kejenuhan, kalah bersaing dan karena tidak ada hal baru yang kita sajikan. Sementara pesaing terus berbenah dan menawarkan konsep usaha baru yang memanjakan konsumen.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya kita lakukan selaku pelaku usaha adalah bagaimana pihak manajemen usaha kita yang melakoni usaha setiap hari tersebut yang berada di garda terdepan tersebut, agar dapat membaca dan memahami apa yang dibutuhkan konsumen dan apa yang harus dilakukan agar konsumen pada saat timbul kejenuhan, sudah kita antisipasi dengan hal yang baru yang membuat konsumen tetap loyal.Â
Selamat Berjuang!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H