Fenomena kendaraan roda dua (motor) dan kendaraan roda empat (mobil) antri di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) masih saja terjadi, antrian tersebut terjadi setelah pemerintah melalui PT Pertamina mengurangi nilai/jumlah/besaran subsidi dan atau menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)  ber-subsidi jenis pertalite dan solar beberapa waktu lalu. Jika kita perhatikan saat ini  intensitas antriannya sedikit sudah berkurang dibandingkan dengan pada saat harga BBM tersebut baru dinaikkan.
Bila dicermati, salah satu penyebab antrian tersebut adalah  karena PT Pertamina meminta agar pihak SBPU dan atau petugas pengisian BBM di SPBU-SPBU yang ada, harus mencatat plat nomor  pemilik kendaraan yang akan mengisi BBM tersebut. Adapun maksud dari pencatatan plat nomor  pemilik kendaraan tersebut agar penggunaan/pemakaian BBM ber-subsidi tepat sasaran, dan atau tidak disalah gunakan.
Wajar, kalau antrian kendaraan di SPBU terus terjadi, apalagi masih banyak pemilik kendaraan yang tidak menggunakan aplikasi my pertamina dan ditambah lagi memang adanya petugas di SPBU yang lambat alias "lelet" dalam melakukan pencatatan plat nomor  pemilik kendaraan tersebut. (lihat Amidi, Begitu Peliknya Mengatur BBM Subsidi, Sriwijaya Paost, 27 Pebruari 2023)
Namun, saya melihat pada kondisi yang lain, sepertinya ada perbedaan intensitas kendaraan yang antri pada SPBU yang ada, baik di pulau Sumatera Sendiri maupun pulau Jawa. Antrian kendaraan di SPBU di dalam pulau Sumatera  pun intensitasnya berbeda, ada yang terbilang masih lama, misalnya satu kendaraan harus antri di salah satu SPBU lebih kurang setengah jam dan ada kendaraan yang antri di salah satu SPBU hanya lebih kurang sepuluh menit. Nah, untuk SPBU-SPBU  yang ada di Pulau Jawa, sepertinya intensitas antrian kendaraan pada SPBU disana  sudah tidak terlalu banyak dan tidak terlalu lama.
Menurut pengamatan saya, tidak terlalu banyak dan lamanya pemilik kendaraan antri di SPBU di Pulau Jawa tersebut,  menunjukkan bahwa dipihak pemilik kendaraan sudah timbul "kesadaran yang tinggi", maksudnya bagi pemilik kendaraan yang berkapasitas di atas 1500 CC dan atau bagi pemilik kendaraan yang tergolong mewah atau bagi pemilik kendaraan sejuta umat (berkantong agak tebal) sudah tidak lagi membeli/mengisi BBM bersubsidi, dengan kata lain mereka sudah membeli/mengisi BBM non subsidi, sehingga mengurangi antrian. Namun, untuk mengetahui faktor penyebab lainnya dan atau untuk memastikan-nya  mungkin perlu dilakukan penelitian yang mendalam.
Penderitaan anak negeri ini, sepertinya tidak berhenti pada persoalan antri di SPBU saja, di jalan pun mereka juga harus antri alias terkena "macet". Kemacetan yang terjadi di jalan, bukan karena "si Komo"  lewat, tetapi karena ruas jalan tidak bertambah, jalan-jalan pada sudah banyak yang rusak dan semakin bertambahnya pemilik kendaraan serta ditambah lagi sikap kita  yang tidak bersahabat. Pemilik kendaraan sebagai pemakai jalan bertindak semaunya, saling mendahului, dan tindakan lain yang menyebabkan kemacetan. Belum lagi, bertambahnya kendaraan karena adanya dorongan dan kemudahan fasilitas kredit kendaraan. (lihat Amidi dalam Kompasiana.com, 20 Peberuari 2023)
Pemandangan macet dijalan ini, sepertinya sudah tidak mengenal waktu. Misalnya di Palembang, jika sebelumnya macet dijalan terjadi di pagi hari pada saat anak negeri ini mau berangkat menuju tempat mereka bekerja atau sekolah/kuliah dan pada sore hari pada saat anak negeri ini mau pulang menuju rumah mereka. Namun, kini  macet dijalan sudah tidak mengenal waktu, pagi macet, siang macet, sore macet dan malam  pun macet, sehingga tidak berlebihan kalau saya katakan "tiada  hari tanpa macet". Di Palembang saat ini intensitas macetnya sudah hampir sama dengan kemacetan yang terjadi di Jakarta dan Kota Besar lainnya.
Lagi-lagi di Palembang, biasanya kita dapat memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan bila kita ingin menempuh jarak tempuh tertentu. Namun saat ini, perkiraan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menempuh suatu jarak tempu tertentu tersebut sudah tidak bisa diprediksi lagi. Contoh, anak seorang penulis Kompasiana.com dan juga pengamat ekonomi  Sumatera Selatan  yang menggunakan mobil sejuta umat dari  rumah ke tempat ia bekerja hanya berjarak 2 km, namun pada saat pergi dan pulang ia membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit, bahkan terkadang lebih kurang 60 menit apabila intensitas kemacetan sudah parah, luar biasa bukan!.
Kecuali ada alternatif jalan tol, seperti anak-nya yang satu lagi kuliah di Universitas Sriwijaya, Indralaya Ogan Ilir, yang juga menggunakan mobil sejuta umat.. Jika ia menempuh jalan biasa (jalan umum) membutuhkan waktu  30-60 menit untuk jarak tempuh dari rumah ke kampus, namun dengan melalui jalan tol, jarak tempuh dari rumah ke kampus hanya 15-20 menit saja, begitu juga sebaliknya.
Kembali ke SPBU.