Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Stop Wacana Perpanjangan Jabatan Kepala Desa, Lebih Baik Optimalkan Dana Desa

2 Februari 2023   06:12 Diperbarui: 3 Februari 2023   17:45 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana masa jabatan kepala desa 9 (sembian) tahun yang muncul tersebut, menimbul pro-kontra, saya tidak bermaksud membahas persoalan masa jabatan tersebut. 

Menurut saya bukan persoalaan lamanya masa jabatan kepala desa, menurut saya yang penting bagaimana kontribusi dari seorang kepala desa terhadap desa yang dipimpinnya.

Jika kita mengedepankan kontribusi, maka dana yang mengalir ke desa akan bisa dimanfaatkan secara baik dan optimal.

Karena desa merupakan ujung tombak pembangunan bangsa, harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. 

Salah satu upaya untuk mempercepat keberhasilan pembangunan desa yakni melalui pemberian bantuan dana desa. Dana desa yang mengalir ke desa-desa tersebut, harus dimanfaatkan secara maksimal.

Beberapa waktu yang lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengehentikan penyaluran dana desa untuk 56 desa di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara, lantaran diketahui desa tersebut tidak memenuhi syarat aturan desa. 

Desa tersebut cacat hukum dan register Perda Pertanggungjawaban APBD. Berdasarkan hasil tersebut, sehingga dana desa sempat dihentikan sampai ada kejelasan (RiauPos.co, 15 Januari 2020).

Sehubungan dengan itu, Akhmad Muqowan selaku Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Desa pada saat itu menyesalkan atas pencabutan Dana Desa oleh UU Nomor 2 tahun 2020. 

Muqowan menjelaskan Dana Desa sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 72 ayat 2 UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa harus dijalankan sesuai ketentuan perundangan, yang memang UU tersebut menjadi tonggak bagi keperbipahakan Negara terhadap desa.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa desa mendapat pengakuan sebagai sebuah entitas yang harus diakui keberadaannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan sekaligus diberikan kewenangan untuk mengurus sendiri kewenangan yang berskala desa. (desapedia.id, 23 Juni 2020)

Jika dicermati dari dua pernyataan tersebut, sepertinya ada yang kontradiksi. Disatu sisi kita ingin agar desa bisa menjadi mandiri atau agar terbentuknya DESA MANDIRI serta tercipta percepatan keberhasilan pembangunan desa.

Sedangkan di sisi lain jika dana desa tersebut dihambat dan atau dihentikan akan menghambat terbentuknya kemandirian desa dan atau akan terhambatnya pembentukan DESA MANDIRI serta percepatan pembangunan desa tersebut. 

Belum lagi jika kita hubungkan dengan Indek Desa Membangun (IDM) yang kita dengung-dengungkan tersebut.

Indek Desa Membangun.

Otonomi daerah yang telah dicanangkan beberapa tahun yang lalu memang menunjukkan hasil, walaupun belum optimal. 

Indikasi ini ditunjukan/dibuktikan oleh ada beberapa daerah/kabupten/kota baik yang sudah ada maupun hasil pengembangan yang sudah berhasil mandiri dan memang masih ada juga yang masih jalan ditempat bahkan justru membebani negara, karena harus terus disubsidi atau dibiayai pusat.

Dari pengamalan tersebut, kita sambut baik kementerian Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi yang meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) beberapa waktu yang lalu. 

Jika kita perhatikan, ada dua (2) persoalan besar yang mengganjal desa selama ini; 1. Persoalan desa tertinggal dan 2. Kesenjangan sosial di desa. Kita tahu bahwa sedikitnya ada 5000 desa tertinggal dan betapa kesenjangan soaial semakin melebar.

Diharapkan dengan adanya IDM ini setidaknya akan mengurangi DESA TERTINGGAL dan mengurangi KESENJANGAN SOSIAL, yang pada akhirnya diharapkan desa-desa yang ada akan MANDIRI atau menjadi DESA MANDIRI.

Kalau dilihat dari program unggulan dalam IDM tersebut; yakni; 1) jaring komoditas wiralaba (JKWD), 2) Lumbung ekonomi desa (LED) dan 3) Lingkar Budaya Desa (LBD). Sebetulnya sudah cukup untuk mendorong terbentuknya DESA MANDIRI. 

Menurut hemat saya yang sebelumnya sudah pernah saya sampaikan pada desapedia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kalau program unggulan tersebut bisa berhasil dengan baik:

Pertama. Untuk JKWD, komoditas pertanian yang dihasilkan oleh desa kebanykan hetrogen, apalagi desa-desa yang ada di sumatera Selatan bahkan mungkin desa-desa yang ada di negeri ini pun demikian. 

Dengan hetrogennya komoditas yang dihasilkan, selain tidak memiliki ke-khusus-an, nilai tambah produk/komoditas pertanian yang tercipta terkadang relatif kecil. 

Lain halnya kalau desa tersebut memeiliki komoditas pertanian homogen dan mempunyai khas tersendiri, yang tidak dimiliki oleh desa lain.

Kedua. Untuk LED, selama ini desa sulit membuat lumbung-lumbung Desa, karena semua hasil pertanian atau hasil perkebunan mereka langsung jual bahkan penjualan hasil pertanian atau perkebunan itu mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. 

Jangankan mereka akan menyimpan dalam LUMBUNG, hasil yang masih hijau (IJON) pun mereka sudah jual, karena desakan kebutuhan. 

Untuk itu ada semacam dorongan atau bantuan desa, seperti yang digalakkan sekarang dana desa. Hanya perlu pembinaan dan pendampingan, agar dana tersebut tepat sasaran.

Ketiga. Untuk LBD, selama ini budaya desa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat desa, sudah hampir luntur bahkan sudah luntur sama sekali. 

Budaya luar dan budaya metropolis yang tumbuh subur, karena desa mudah sekali dipengaruhi pendatang-pendatang dari Kota dan dari luar yang menularkan budaya tertentu. 

Sistem pemerintahan desa perlu di evaluasi, apakah sistem MARGA atau PASIRAH tidak sebaiknya di laksanakan kembali/dihidupkan kembali di desa.

Optimalkan Dana Desa.

Dengan mencermati kepentingan IDM dan Kemandirian Desa tersebut, maka menurut saya dana desa yang selama ini sudah digulirkan, masih perlu dipertahankan. 

Apalagi mengingat ketimpangan antara desa dan kota dan mengingat masih minimnya infrastruktur di desa serta masih tingginya angka kemiskinan di tinggkat desa. Nah, persoalan kemiskinan ini harus menjadi titik sentral kita dalam mengalokasikan dana desa tersebut.

Sekali lagi, persoalan kemiskinan harus menjadi titik sentral dalam mengemplementasikan IDM tersebut. Kemiskinan harus ditekan. Apalagi mengingat kemiskinan didesa lebih parah dibandingkan di kota. 

Hal ini tercermin dari INDEK KEDALAMAN KEMISKINAN, indeks kedalaman kemiskinan di kota hanya 1,24 sedangkan di desa mencapai 2.24. Indeks keparahan kemiskinan di kota 0.31 sedangkan di desa 0,56.

Kemudian yang perlu diperhatikan agar dana desa tersebut benar-benar efektif dan dapat dioptimalkan, kita terus berupaya melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana desa, memberi pendampingan kepada desa dalam menggunkan dana desa, memperbaiki sikap semua pihak yang terlibat, dan terus melakukan pembinaan terhadap perangkat desa.

Bila perlu bekerja sama dengan berbagai pihak agar harapan kita terbentuknya DESA MANDIRI tersebut benar-benar terwujud dan percepatan pembangunan desa yang kita harapkan segera terwujud.

Untuk itu wacana memperpanjang masa jabatakan kepala desa 9 (sembilan) tahun tersebut perlu ditinjau ulang, tidak perlu dibicarakan lagi.

Karena justru akan memberi kesempatan untuk memperpanjang dan atau memperbanyak persoalan yang sering muncul dalam kepemerintahan desa seperti yang terjadi selama ini. Selamat berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun