Zakat ditinjau dari aspek ekonomi, merupakan potensi umat untuk umat. Potensi zakat di negeri ini cukup besar seiring dengan jumlah umat Islam yang ada.Â
Namun, sayang penerimaan zakat ini jumlahnya masih relatif kecil. Amil zakat sepertinya harus berjuang terus menerus untuk mengambil uang zakat pada muzakki.
Zakat yang akan dibayar/ditunaikan oleh seorang muslim tersebut berupa harta, tinggal kelompok harta mana yang akan keluarkan tersebut, termasuk zakat profesi sebagai pengembangan zakat harta.Â
Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berahk menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (tirto.id, 21 April 2021)
Kemudian dalam Wikipedia pun dijelaskan bahwa zakat adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanaya. Zakat dari segi bahasa berarti "bersih", "suci", "subur", "berkat" dan "berkembang".
Dari pengertian zakat di atas, jelas bahwa zakat merupakan suatu "kewajiban" bagi orang Islam untuk dilaksanakan. Dengan demikian seharusnya pejuang zakat atau amil zakat tinggal mengejar/memburu orang Islam untuk mengambil zakat tersebut.Â
Hal ini sesuai dengan firman Allah, yang artinya; "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka" (QS At-Taubah :103).Â
Kemudian perintah zakat itu pun melekat dengan kewajiban menunaikan shalat. Allah berfirman yang artinya; "Dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'" (QS Al-Baqarah : 43)
Kemudian secara rinci dalam Al-Qur'an telah diterangkan secara gamblang tentang kewajiban orang Islam untuk menunaikan zakat tersebut.Â
Sedikitnya terdapat 13 surat dalam Al-Qur'an tentang zakat tersebut, yakni QS Al-Baqarah ayat: 42,84,110,177,267, dan 277, QS Annisa ayat 77 dan 162, QS Al-Maidah 12 dan 55, QS Al A'raf 156, QS At-Taubah 5 11 18 71 60 dan 103, QS Al-Anbiya 73, QS Al-Hajj 41 dan 78, QS An-Nur 37 dan 56, QS An-Naml 3, QS Lukman 4, QS Al-Ahzab 37, QS Fushilat 7, dan QS Al-Mujadillah 13
Batasan Harta Zakat.Â
Selanjutnya Zakat dikeluarkan dari harta yang dimiliki, tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat. Syarat dikenakannya zakat atas harta diantaranya;Â
- harta tersebut merupakan barang halal dan diperoleh dengan cara halal,Â
- Harta tersebut dimiliki penuh oleh pemiliknya,Â
- Harta tersebut merupakan harta yang dapat berkembang,Â
- Harta tersebut mencapai nisab sesuai jenis hartanya,Â
- Harta tersebut melewati haul danÂ
- Pemilik harta tidak memiliki hutang jangka pendek yang harus dilunasi.
Dengan demikian, bila harta tersebut telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan tersebut dan susuai ketentuan dalam syariat Islam, maka tidak ada alasan untuk tidak mengeluarkan/menunaikan zakat.Â
Namun bila kita simak dilapangan, tidak sedikit umat Islam yang berlum dan atau tidak mengeluarkan/menunaikan zakat. Indikasi ini terlihat dari potensi zakat dan realisasi zakat yang dapat dikumpulkan oleh petugas zakat atau pejuang zakat atau amil zakat.
Berdasarkan informasi yang disajikan dalam Bisnis.com, 01 Maret 292, bahwa potensi zakat di Indonesia pada tahun 2020 sebesar Rp. 233,8 triliun. Dalam realisasinya (Baznas, 2019) jumlah penghimpunan pata tahun 2019 baru mencapai Rp. 10,1 triliun. Masih relatif kecil?
Faktor Penyebab.
Ada beberapa faktor penyebab, umat Islam masih belum dan atau tidak mengeluarkan/menunaikan zakat tersebut. Menurut saya faktor utamanya adalah masalah sanksi. Orang lebih takut tidak membayar pajak ketimbang takut tidak membayar zakat.Â
Mengapa demikian, karena ketika orang tidak membayar pajak ada sanksi secara langsung, misalnya kena denda dan atau sanksi/hukuman.Â
Sedangkan apabila orang tidak membayar/menunaikan zakat, tidak ada sanksi denda atau hukuman seperti tidak membayar pajak, begitu juga hukuman dari Allah pun memang tidak secara langsung, misalnya begitu tidak membayar zakat hartanya langsung hilang, kebakaran atau kena musibah atau bencana lainnya, karena Itu hak prerogatif Allah.
Kemudian, ada hubungannya dengan pajak. Ada orang yang "berhitung" atau "menimbang-nimbang", karena ia sudah mengurangi harta nya dengan membayar pajak, nah, pada saat ia akan mengeluarlan/menunaikan zakat, ia merasa berat.Â
Bayangkan besaran pajak ditetapkan secar progesif, semakin tinggi pendapatan seseorang semakin tinggi kewajiban ia membayar pajak.Â
Misalnya, bila pengahasilan dalam satu tahun pajak sampai dengan Rp 50 juta dikenakan tarif PPh sebesar 5 persen, begitu juga dengan objek dan subjek pajak lain, diberikan ketentuan-ketentuan tertentu.Â
Sementara bila ia mau mengeluarkan/menunaikan zakat sedikitnya 2,5 persen dari jumlah harta yang dimilikinya tersebut. Dengan demikian, ia kena pajak 5 persen dan kena zakat 2,5 persen. Nah, pertimbangan inilah salah satu penyebab mereka malas membayar zakat.
Kemudian, mereka enggan mengeluarkan/menaunaikan zakat tersebut karena tingkat kepercayaan masyarakat yang masih rendah kepada lembaga-lembaga pengelola zakat, sehingga masyarakat mengeluarkan zakat secara langsung kepada mustahiqnya, termasuklah tidak sedikit orang Islam yang belum mengerti menghitung zakat-nya.Â
Dikatakan oleh Afif Muhammad Guru Besar Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, keenganan mereka membayar zakat dikarenakan masih banyak diantara orang Islam yang belum mengerti cara menghitung zakat dan kepada siapa zakatya dipercayakan untuk disalurkan serta tidak adanya sanksi apa pun bagi mereka yang tidak mengeluarkann zakat.
Kemudian masih ada pula orang Islam yang memahami hartanya merupakan hak mutlak miliknya. Mereka beranggapan bersusah payah mencari/memburu harta atau rezeki, mengapa harus dibagi atau membayar zakat, sehingga, mereka enggan untuk mengeluarkan/menunaikan zakat.
Solusi.
Hendaknya ada sebagian dari uztads atau da'i atau penceramah yang senantiasa dan terus menerus menghimbau/menyuarakan dengan dalil-dalil penguatnya agar umat terdorong untuk mengeluarkan/menunaikan zakat tersebut.
Perlu adanya pemikiran untuk menghilangkan dualisme dalam pemotongan harta benda yang dimiliki orang Islam. Selama ini selain mereka dikenakan pajak, juga dikenakan zakat.Â
Seharusnya bila mereka sudah membayar zakat, maka pada saat mereka membayar pajak tinggal mengungkan besaran pajak dengan besaran zakat yang telah dibayarkannya tersebut, itulah jumlah pajak yang harus dibayarnya.Â
Berdasarkan informasi yang demikian sudah dilakukan, tetapi untuk lembaga zakat tertentu dengan ketentuan yang telah ditetapkan, belum berlaku pada semua lembaga zakat atau belum semua bukti pengeluaran zakat dapat diakui sebagai pengurang besaran pajak yang harus mereka bayarkan. Ke depan harus dikaji ulang agar tidak ada lagi dualism tersebut.
Terakhir adalah lembaga zakat yang ada harus sedapat mungkin meyakinkan muzakki agar mereka tidak ragu lagi membayar/menunaikan zakat pada lemabaga-lembaga zakat yang ada.Â
Ekspos besar-besaran penyaluran uang zakat yang telah terkumpul tersebut dan sampaikan laporannya kepada muzakki atau pembayar zakat tersebut.Â
Hal ini penting, agar pembayar zakat timbul keyakinan dan puas dengan lembaga zakat tersebut.Â
Pada bulan Ramadhon ini merupakan momentum untuk kita mengeluarkan/menunaikan zakat, mari kita berlomba-lomba mengeluarkan/menunaikan zakat, infaq dan sodaqoh agar harta kita bersih dan berkah. Semoga!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H