Dalam konferensi pers  daring dari Istina Merdeka, Jakarta beberapa waktu lalu, Bapak Presiden Joko Widodo  menyatakan bahwa tahun ini umat Islam boleh melakukan sholat tarawih berjamaah di masjid dan  boleh mudik atau pulang kampung pada perayaan Idul Fitri 2022 asal telah mendapat dosis pertama dan kedua  serta dosis  penguat (booster) vaksin COVID-19 dan tetap menjalankan prokes yang ketat. (Antara, 23 Maret 2022)
Pada bagian lain Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin  menyatakan bagi masyarakat yang belum  divaksin booster, boleh  mudik dengan syarat, pemudik yang belum divaksin booster  tetapi sudah menerima vaksin dosis lengkap atau dua dosis, wajib menunjukkan hasil tes negatif  Covid-19 melalui tes antigen dan pemudik yang baru menerima vaksin dosis  perama, wajib menunjukkan hasil negatif tes PCR Covid-19 sebagai syarat perjalanan. (Kompas.com, 26 Maret 2022)
Terlepas dari itu semua, yang jelas masyarakat terlebih umat Islam yang sudah dua tahun tidak diperbolehkan berkerumun (solat berjamaah dimasjid)  dan mudik hari raya Idul Fitrih, kini sudah diperbolehkan. Dengan demikian, fenomena yang sudah menjadi tradisi selama ini akan bangkit kembali. Masyarakat terlebih umat Islam dengan bergembira  menyambut bulan Ramadan dengan segala perbak-perniknya.
Tradisi ramai-ramai berbelanja dalam rangka menyambut bulan Ramadan  akan terulang kembali. Beberapa hari ini pasar mulai "diserbu" oleh emak-emak, baik pasar tradional maupun  pasar modern, seperti mall, supermarket  dan sejenisnya. Tak ayal lagi, mendorong harga-harga kebutuhan pokok yang menjadi dibutuhkan  emak-emak tersebut akan mengalami keniakan.
Hal ini terjadi, sebagaimana pengalaman tahun-tahun lalu, setiap menjelang bulan Ramadan, harga-harga terutama harga barang sembilan kebutuhan pokok (sembako) akan mengalami kenaikan harga. Kini kenaikan harga itu sudah mulai terjadi, Situs resmi Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, Rabu (30/3/2022) mensinyalir bahwa sudah terjadi kenaikan harga terhadap beberapa komoditas. Seperti gula pasir  kualitas premium mengalamai kenaikan Rp. 150 dibandingkan harga kemarin menjadi Rp. 15.850 per kilogram. Begitu juga dengan cabai rawit hijau naik sebesar Rp. 1,750 menjai Rp. 54.800 per kilogram. Telur  ayam ras  segar mengalami kenaikan Rp. 150, dibandrol menjdi Rp. 25.750 per kilogram.(Kompas.com,  30 Maret 2022.
            Faktor Penyebab.
Ada beberapa faktor penyebab  kenaikan harga menjelang  bulan Ramadan sampai menjelang hari raya Idul Fitri nanti. Adaanya dorongan kenaikan permintaan, adanya keterbatasan stock alias kelangkaan, dipihak konsumen cendrung berbelanja tidak rasional dengan kata lain berbelanja berlebihan/aksi borong, dipihak produsen/penjual mengambil kesempatan dengan mengedepankan  ekspektasi rational (rational ekspectation).
Penyebab kenaikan harga menjelang Ramadan sampai hari raya idul fitri tidak hanya karena faktor ekonomi semata, tetapi dipengaruhi juga faktor kejiwaan (psikologis), yakni konsumen berbelanja didorong oleh faktork psikologis. Bila ditelusuri lebih jauh ternyata faktor psikologis ini lebih dominan dibandingkan faktor ekonomi
Fenomena emak-emak dan atau masyarakat "menyerbu" pasar ini terus berlanjut  sampai menjelang hari raya Idul Fitri. Intensitasnya akan terus meningkat sampai mendekati hari "H" Idul Fitri tersebut. Fenomena berbelanja  seperti ini  sepintas tidak dapat dijelaskan  dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi semata, sekali lagi, karena  ada faktor kejiawaan atau faktor psikologis  yang lebih menonjol.
Teori ekonomi sepertinya tidak dapat menjelaskannya, teori ekonomi mainstream, antara lain teori Keynes, Irving Fisher, Franco Modigliani, Milton Friedman dan Robert Hill, menyatakan  bahwa konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pendapatan yang diterima saat ini, pendapatan yang diharapkan waktu mendatang dan juga tingkat bunga (interest rate). Para ekonom ini mendasarkan pandangan mereka pada asumsi bahwa individu-individu  homo economicus itu selalu membuat keputusan dan bertindak rasional.
Pada saat normal, konsumen berbelanja apabila ia benar-benar mempunyai uang atau pendapatan saat ini. Namun, kebiasaan berbelanja menjelang bulan Ramadan sampai menjelang Idul Fitri tersebut tidak demikian, konsumen akan didorong oleh faktor kejiwaaan atau faktor psikologis yang sangat kental. Jika tidak berbelanja berlebihan ada yang terasa kurang. Uniknya lagi, jika kebiasaan berbelanja tersebut tidak dilakukan, ada semacam beban moril ,terhadap diri dan lingkungannya. (lihat Amidi dalam Sriwijaya Post, 11 September 2007).
            Tradisi Setempat.
Bila kita simak fenomena kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok menjelang tibanya bulan Ramadan sampai menjelang hari raya Idul Fitri tersebut, selain karena faktor di atas, ternyata ada faktor psikologis lain yang memicu-nya, seperti tradisi masyarakat setempat. Misalnya ada beberapa daerah  dalam menyambut hari raya Idul Fitri  "harus" menyediakan makanan khas daerah mereka.Â
Di negeri ini, ada banyak akanan khas lebaran yang disuguhkan kepada tamu dan kerabat  yang datang saat bersilaturrahmi di hari raya Idul Fitri  Dalam liputan6.com, 15 Mei 2021 mensinyalir beberapa makanan khas daerah yang akan disuguhkab kepada kerabat dan para tamu yang bersilaturrahmi; gulai nagka dari medan, bebek gulai kurma dari Aceh, rendang dari Padang, ayam bumbu anam dari Palembang, lemang dari jambi,  semur daging dari Jakarta,  soto banjar dari Banjarmasin, ayam Gagape dari Makasar,  dan ayam woku dari Manado. (Liputan6.com, 15 Mei 2021)
Dengan harus tersedianya beberapa makanan khas daerah pada masing-masing daerah tersebut, berarti masyarakat daerah tersebut harus membeli bahan-bahan atau makanan untuk menyediakan makanan khas tersebut, dengan demikian akan ada peningkatan permintaan kembali terhadap barang-barang yang dibutuhkan tersebut dan sekaligus akan mendorong kenaikan harga-harga.
            Solusi.
Menurut saya,  kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok menjelang  bulan Ramadan tersebut jika masih berkisar pada angka 5 sampai 10 persen masih  bisa ditolerir, tetapi kalau kenaikan harga-harga tersebut sudah di atas 10 persen memberatkan konsumen, apalagi saat ini masyarakat masih terdampak pandemi yang berlangsung selama dua tahun lalu.
Berdasarkan pengalaman tahun-tahun lalu, biasanya kenaikan harga tersebut cendrung bertambah, bahkan pernah mencapai 20 sampai 50 persen. Kalau sudah begini,  harus diantisipasi  jangan sampai melonjak tajam.
Untuk itu harus ada tindakan  konkret dari pihak yang berwenang untuk   melakukan berbagai langkah dan kebijakan. Satgas pangan, yang telah dibentuk pemerintah daerah harus pro aktif memantau harga-harga di pasar dan sedapat mungkin mencegah terjadinya penimbunan. Pemerintah daerah, sedapat mungkin harus melakukan operasi pasar secara inten untuk menstabilkan harga-harga di pasar, terutama harga-harga di pasar tradisional. Kecukupan stock, harus benar-benar dijamin, jangan hanya di atas kertas, sekali lagi pastikan bahwa dilapangan/dipasar stock barang kebutuhan pokok memang cukup.
      Konsumen sebaiknya berbelanja secara rasional, hindari berbelanja dengan emosional dan aksi borong. Produsen/penjual harus tenggang rasa kepada konsumen, jika memang tidak ada faktor pendorong untuk menaikkan harga (seperti adanya kenaikan ongkos, kemacetan distribusi, dll), jangan  menaikkan harga.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah harus melakukan bujukan moral (moral suasion) secara terus menerus melalui berbagai media  kepada konsumen agar tidak melakukan aksi borong, agar dalam berbelanja mengutamakan faktor ekonomi ketimbang psikologis dan kepada produsen/penjual agar tidak bertindak sewenag-wenang menaikkan harga. Selamat berjuang!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H