Pikiran tak senonoh itu mendadak muncul lagi. Selalu saja begini ketika Risa ada di sisiku. Mungkin karena faktor umurku yang hampir berkepala tiga, jadi sepertinya pacaran bukanlah solusi untuk perjaka sepertiku. Cinta? Aku sudah lupa bagaimana rasanya.
Sekarang nafsu yang selalu mendominasi isi kepalaku apabila mataku memandang wanita muda sepertinya. Kalau bukan karena iman, entah apa yang sudah kulakukan pada Risa sekarang. Karena itu, kuputuskan untuk mengajaknya menikah malam itu.
"Ris, will you marry me?"
Kata-kataku memotong omongannya yang kemana-mana dengan sifat grapyak, banyak tingkahnya itu dan membuat pikiranku kotor.
"Ha? Apa?" jawabnya tercekat.
"Aku nggak mau ngulangin, iya atau tidak. Atau kita berakhir sekarang."
Ketegasanku yang bukan biasanya ini membuat keningnya berkeringat. Risa membuang pandangan matanya ke bawah.
"Tapi, Dim..aku kan masih belum.."
"Oke."Â
Aku bangkit kemudian membalikkan badan. Risa menarik lenganku, kulepas paksa. Beberapa alasan keluar dari mulutnya tak kudengarkan. Kuanggap sepeti bising jalanan yang mewarnai perpisahan kami di taman sore itu.
*******