Mohon tunggu...
Ami Ibrahim
Ami Ibrahim Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puisi dan Politik

2 April 2018   00:08 Diperbarui: 2 April 2018   00:29 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

tulisan lama, mungkin masih relevan, masih bisa berguna.

Adakah kemungkinan puisi dalam politik?

Bila politik dipandang sebagai sebuah teks yang berisi tindakan dalam meraih dan mempertahankan kuasa, maka yang paling mungkin baginya adalah prosa. Di dalamnya terangkum deskripsi langkah-langkah (strategi, taktik), formulasi hasil yang diinginkan (tujuan) dan ada aktor yang bermain. Sebagai prosa, politik mengandalkan bahasa, tetapi bahasa hanya dipergunakan dalam posisinya yang paling fungsional: sebagai penyampai maksud. 

Dalam memperlakukan bahasa, politik mengelolanya dalam retorika, dimana bangunan makna yang ditransmisikan adalah paket yang sudah final. Di dalam politik tidak tersedia ruang untuk interpretasi bebas. 

Publik (pembaca) hanya diberi ruang untuk menerima cerita yang sudah jadi untuk disikapi. Dengan demikian, retorika sebagai salah satu cabang dan praktik pengetahuan, menjadi instrumen sangat penting dalam politik. Retorika adalah alat pemaksa yang didayagunakan untuk menyampaikan agenda, menggulirkan taktik dalam kerangka strategi, dan untuk pengolahan komunikatifnya. 

Retorika juga lebih bernuansa prosa sehingga ketika didayagunakan publik tinggal menerima atau menolak. 

Sudah sejak Aristoteles, puisi dipandang sebagai dunia kemungkinan-kemungkinan, sementara sejak Bismark, politik dianggap sebagai seni kemungkinan. Pada puisi, bahasa dikelola melalui penggalian, pemilahan, pertimbangan dan dibiarkan bebas bersama rasa dan bunyi yang disarankannya untuk membentuk dunia. 

Sementara itu, bahasa dalam politik telah dibakukan dalam satu tujuan tunggal dimana pemilahan dan pertimbangan yang dilakukan hanya untuk pengaruh singular. Dalam puisi ruang interpretasi inheren sebagai bangunan pembentuknya, sementara dalam politik, interpretasi tunggallah yang menjadi maksud digunakannya.

Ketika publik disuguhi jargon dan slogan politik, misalnya, pertama-tama publik tidak akan peduli, karena di hadapan jargon dan slogan, secara alamiah, publik terposisikan hanya sebagai penerima pasif. 

Tidak tersedia ruang demokratik baginya untuk mengembangkan tafsir dan membangun dunia pemahamannya sendiri yang, misalnya, bisa berbeda atau bertentangan. Disinilah dituntut kehati-hatian berbahasa bagi para politisi, karena publik memiliki kehendak alamiah untuk membangun cerita berdasar persepsi bebasnya sendiri. 

Dalam posisi demikian, hanya retorikalah yang akan mengambil peran dan menjadi penolong bagi politisi. Karena didalam retorika, makna-makna dikemas sebagai sebuah paket baku atau paket selesai, untuk dipergunakan dalam menggiring persetujuan dan dukungan.  

Namun demikian, kemungkinan puisi dalam politik sebenarnya masih terbuka, yaitu ketika politik memasuki ranah demokratik. Makna-makna yang disarankan oleh sebuah agenda politik, misalnya, akan dengan mudah dibentuk dan ditelikung secara bebas oleh publik (pembaca). 

Resiko yang bisa muncul adalah, agenda-agenda politik tidak lagi dapat dipandang sebagai instrumen pencapaian tujuan, taktik dan strategi tinggal perangkat metoda, dan seluruhnya akan menjadi sebuah dunia yang bangkit mandiri dan sudah berada diluar kendali aktor yang menyusunnya. Resiko pencitraan agaknya berada pada keadaan ini.

Ketika seorang politisi bermaksud memperbaiki citranya dengan membuka akun sosial media, misalnya, langkah tersebut sesungguhnya adalah sebuah upaya lanjutan dalam membangun prosa bagi kehadiran dan eksistensinya sebagai aktor politik. 

Yang tidak boleh dilupakan ialah, sosial media, terlepas dari sistim sensor tersembunyi yang dikandungnya, tetaplah sebuah perangkat demokratik sebab publik (pembaca) memiliki akses penuh untuk berpartisipasi. Politik pada posisi ini benar-benar berada pada situasi paling telanjang dan liar tak dapat dikendalikan, meski agenda-agenda dan retorika yang mendukungnya sudah didesain untuk mencapai tujuan. 

Kemungkinan puisi pada politik dalam keadaan terakhir memang menjadi niscaya, sehingga posisi politisi sebagai aktor tinggal bayang-bayang samar. Publik telah membangun ceritanya sendiri, mengkristalkan dan menganut persepsi yang dibangunnya sendiri. Segencar apapun sang politisi memoles diri sebagai aktor yang cepat bertindak dan tegas, nyaris tidak akan berarti apa-apa. 

Sosok dan kiprahnya telah menjadi puisi yang multi-interpretasi pada satu pihak, namun pada pihak lain telah menanam imaji tunggal, seperti ketika kita membaca kalimat "aku mau hidup seribu tahun lagi" dari Chairil Anwar dengan menanggalkan imaji dan nuansanya.

Kemungkinan puisi dalam pengertian demokratik seperti disebutkan juga tampak pada modus para caleg dalam memasarkan diri. Dengan retorika seragam, para caleg menyerbu ruang publik dengan kata dan gambar yang baku, selesai, sehingga ruang interpretasi yang sebenarnya diharapkan muncul hanya berisi dua sisi faset dari satu bangunan persepsi: mendukung dan tidak mendukung. 

Kedua faset dalam satu konteks tersebut kemudian dideteksi melalui survey yang dilakukan dan hasil-hasilnya berupa prosentase kuantitatif. Kenyataan ini tentu semakin mereduksi, untuk tidak mengatakan meniadakan, realitas persepsi yang lebih dalam dan luas dari publik (pembaca) terhadap pada caleg. 

Citra dari gambar dan kata memang dapat bernuansa puitik, tetapi dia telah dibakukan dalam sebuah kanal pembentukan persepsi tunggal, sehingga kemungkinan dialog antara teks (caleg) dan pembaca (publik) sudah tertutup. 

Politik sebagai tindak pragmatis menemukan argumentasinya di sini. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan, mengapa politik kita saat ini bukan lagi politik ideologi. Konflik-konflik yang terjadi dalam rangka perebutan supremasi politik, tinggal konflik fisik permukaan yang lebih berakibat merusak daripada membangun.

Kemungkinan puisi dalam politik mengandaikan hadirnya kembali politik ideologi. Suatu model politik yang didasarkan pada ide-ide besar sebagai landasan ideal dan gerak pragmatiknya, yang dalam praktik paling permukaan, menjadi pembeda antara satu kekuatan politik dibanding kekuatan politik lainnya. 

Dalam politik ideologi, termasuk ideologi pragmatisme, tindak-tindak politik menjadi cukup berwibawa dan membuka kemungkinan tafsir yang sangat luas di luar sekadar hasrat merebut kuasa dan supremasi. 

Inilah yang hilang pada abad-abad ini, dilibas oleh pengelolaan dan praktik politik yang mengedepankan kuasa dan melupakan maksud-maksud ideal dan moralitas kekuasaan sejak Socrates, Plato, Aristoteles. Jaman dimana Il Principle dari Machiavelli menjadi satu-satunya buku petunjuk dalam praktik politik. Kehendak-kehendak moral dan etik dalam politik sebagai bagian inheren dan merupakan esensi politik menjadi terabaikan, justru saat publik sangat memerlukannya.

Politik idiologi sebagai sebuah teks memang dapat disejajarkan dengan bagaimana puisi memperlakukan bahasa. Yaitu bagaimana tujuan merupakan fungsi dari tindakan etik untuk pencapaian kebenaran, kebaikan dan keindahan; diselenggarakan melalui metode pencapaian dan pengukuhan kuasa yang terbuka bagi tafsir dan dengan demokratik untuk disikapi. 

Dalam konteks puisi, dia menjadi multi-interpretasi dan kukuh dalam lapis-lapis makna yang disarankannya, tetapi tetap dalam alur kejujuran ekspresi dalam susunan dan pilihan-pilihannya.

Pragmatisme dalam agenda dan tindak politik para politisi kita saat ini, harus diakui sangat merisaukan. Kuasa tampaknya menjadi hanya satu-satunya tujuan, dan melupakan bahwa kuasa hanya instrumen praktis untuk pencapaian keluhuran dan kesejahteraan -- atau apapun definisi yang kita lekatkan pada makin tingginya nilai kemanusiaan. 

Konflik politik pun tinggal sekadar sebuah perbenturan antar aktor dalam perebutan supremasi dan tidak jarang berakhir dalam situasi saling meniadakan. Seluruh aspek dan sumberdaya politik dikerahkan hanya untuk tujuan-tujuan praktis periodikal, sehingga alur penalaran politik tidak bisa lain akan selalu akan sampai pada korupsi. Hal ini disebabkan karena tak tersedia lagi ruang penafsiran lain atas alasan-alasan bagi pencapaian tujuan politik. 

Politik telah menjadi barang jadi, produk final, yang dilempar ke publik untuk diterima dan dikonsumsi dengan kemasan seragam dalam merek berbeda. Politik telah menjadi prosa yang telah dicabut aspek liriknya, sehingga yang dapat diresepsi tinggal alur dan modusnya. Alurnya mungkin masih Aristotelian, kisahnya masih dengan nada Platonik tapi deskripsinya sudah tidak memiliki metafora dan sudah pasti Machiavellian. 

Dalam situasi ini, apapun usaha penguatan lembaga-lembaga politik yang dilakukan hanya akan tiba pada kebuntuan, karena yang terjadi justru adalah pelapukan. Pemilihan Umum sebagai sebuah prosedur mungkin akan makin efektif, efisien dan terpercaya, tetapi hasil-hasilnya akan selalu menyisakan persoalan karena tidak lagi mengandung esensi dan substansi ideologis untuk sebesar-besarnya kepentingan publik. 

Pemilu adalah prosedur rotasi kuasa dan hanya akan terus menerus memenangkan pragmatisme aktor-aktor politik dengan mengabaikan alasan utama kehadiran politik sebagai sarana kehidupan bersama.

Ringkasnya, adakah kemungkinan puisi dalam politik? Jawabannya ada pada kesadaran kita dalam membaca teks yang terhampar di hadapan kita, pada ruang tafsir yang masih tersisa yang dapat kita manfaatkan, pada kesediaan para aktor untuk membaca puisi kehidupan yang kita jalani pahit asam manisnya sehari-hari.

Suatu tindak praktis juga, tetapi hanya mungkin apabila dilandasi niat dan ideologi yang dianut dan senantiasa siap diperjuangkan.

Jakarta, 21 Juli 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun