Dalam politik ideologi, termasuk ideologi pragmatisme, tindak-tindak politik menjadi cukup berwibawa dan membuka kemungkinan tafsir yang sangat luas di luar sekadar hasrat merebut kuasa dan supremasi.Â
Inilah yang hilang pada abad-abad ini, dilibas oleh pengelolaan dan praktik politik yang mengedepankan kuasa dan melupakan maksud-maksud ideal dan moralitas kekuasaan sejak Socrates, Plato, Aristoteles. Jaman dimana Il Principle dari Machiavelli menjadi satu-satunya buku petunjuk dalam praktik politik. Kehendak-kehendak moral dan etik dalam politik sebagai bagian inheren dan merupakan esensi politik menjadi terabaikan, justru saat publik sangat memerlukannya.
Politik idiologi sebagai sebuah teks memang dapat disejajarkan dengan bagaimana puisi memperlakukan bahasa. Yaitu bagaimana tujuan merupakan fungsi dari tindakan etik untuk pencapaian kebenaran, kebaikan dan keindahan; diselenggarakan melalui metode pencapaian dan pengukuhan kuasa yang terbuka bagi tafsir dan dengan demokratik untuk disikapi.Â
Dalam konteks puisi, dia menjadi multi-interpretasi dan kukuh dalam lapis-lapis makna yang disarankannya, tetapi tetap dalam alur kejujuran ekspresi dalam susunan dan pilihan-pilihannya.
Pragmatisme dalam agenda dan tindak politik para politisi kita saat ini, harus diakui sangat merisaukan. Kuasa tampaknya menjadi hanya satu-satunya tujuan, dan melupakan bahwa kuasa hanya instrumen praktis untuk pencapaian keluhuran dan kesejahteraan -- atau apapun definisi yang kita lekatkan pada makin tingginya nilai kemanusiaan.Â
Konflik politik pun tinggal sekadar sebuah perbenturan antar aktor dalam perebutan supremasi dan tidak jarang berakhir dalam situasi saling meniadakan. Seluruh aspek dan sumberdaya politik dikerahkan hanya untuk tujuan-tujuan praktis periodikal, sehingga alur penalaran politik tidak bisa lain akan selalu akan sampai pada korupsi. Hal ini disebabkan karena tak tersedia lagi ruang penafsiran lain atas alasan-alasan bagi pencapaian tujuan politik.Â
Politik telah menjadi barang jadi, produk final, yang dilempar ke publik untuk diterima dan dikonsumsi dengan kemasan seragam dalam merek berbeda. Politik telah menjadi prosa yang telah dicabut aspek liriknya, sehingga yang dapat diresepsi tinggal alur dan modusnya. Alurnya mungkin masih Aristotelian, kisahnya masih dengan nada Platonik tapi deskripsinya sudah tidak memiliki metafora dan sudah pasti Machiavellian.Â
Dalam situasi ini, apapun usaha penguatan lembaga-lembaga politik yang dilakukan hanya akan tiba pada kebuntuan, karena yang terjadi justru adalah pelapukan. Pemilihan Umum sebagai sebuah prosedur mungkin akan makin efektif, efisien dan terpercaya, tetapi hasil-hasilnya akan selalu menyisakan persoalan karena tidak lagi mengandung esensi dan substansi ideologis untuk sebesar-besarnya kepentingan publik.Â
Pemilu adalah prosedur rotasi kuasa dan hanya akan terus menerus memenangkan pragmatisme aktor-aktor politik dengan mengabaikan alasan utama kehadiran politik sebagai sarana kehidupan bersama.
Ringkasnya, adakah kemungkinan puisi dalam politik? Jawabannya ada pada kesadaran kita dalam membaca teks yang terhampar di hadapan kita, pada ruang tafsir yang masih tersisa yang dapat kita manfaatkan, pada kesediaan para aktor untuk membaca puisi kehidupan yang kita jalani pahit asam manisnya sehari-hari.
Suatu tindak praktis juga, tetapi hanya mungkin apabila dilandasi niat dan ideologi yang dianut dan senantiasa siap diperjuangkan.