Namun demikian, kemungkinan puisi dalam politik sebenarnya masih terbuka, yaitu ketika politik memasuki ranah demokratik. Makna-makna yang disarankan oleh sebuah agenda politik, misalnya, akan dengan mudah dibentuk dan ditelikung secara bebas oleh publik (pembaca).Â
Resiko yang bisa muncul adalah, agenda-agenda politik tidak lagi dapat dipandang sebagai instrumen pencapaian tujuan, taktik dan strategi tinggal perangkat metoda, dan seluruhnya akan menjadi sebuah dunia yang bangkit mandiri dan sudah berada diluar kendali aktor yang menyusunnya. Resiko pencitraan agaknya berada pada keadaan ini.
Ketika seorang politisi bermaksud memperbaiki citranya dengan membuka akun sosial media, misalnya, langkah tersebut sesungguhnya adalah sebuah upaya lanjutan dalam membangun prosa bagi kehadiran dan eksistensinya sebagai aktor politik.Â
Yang tidak boleh dilupakan ialah, sosial media, terlepas dari sistim sensor tersembunyi yang dikandungnya, tetaplah sebuah perangkat demokratik sebab publik (pembaca) memiliki akses penuh untuk berpartisipasi. Politik pada posisi ini benar-benar berada pada situasi paling telanjang dan liar tak dapat dikendalikan, meski agenda-agenda dan retorika yang mendukungnya sudah didesain untuk mencapai tujuan.Â
Kemungkinan puisi pada politik dalam keadaan terakhir memang menjadi niscaya, sehingga posisi politisi sebagai aktor tinggal bayang-bayang samar. Publik telah membangun ceritanya sendiri, mengkristalkan dan menganut persepsi yang dibangunnya sendiri. Segencar apapun sang politisi memoles diri sebagai aktor yang cepat bertindak dan tegas, nyaris tidak akan berarti apa-apa.Â
Sosok dan kiprahnya telah menjadi puisi yang multi-interpretasi pada satu pihak, namun pada pihak lain telah menanam imaji tunggal, seperti ketika kita membaca kalimat "aku mau hidup seribu tahun lagi" dari Chairil Anwar dengan menanggalkan imaji dan nuansanya.
Kemungkinan puisi dalam pengertian demokratik seperti disebutkan juga tampak pada modus para caleg dalam memasarkan diri. Dengan retorika seragam, para caleg menyerbu ruang publik dengan kata dan gambar yang baku, selesai, sehingga ruang interpretasi yang sebenarnya diharapkan muncul hanya berisi dua sisi faset dari satu bangunan persepsi: mendukung dan tidak mendukung.Â
Kedua faset dalam satu konteks tersebut kemudian dideteksi melalui survey yang dilakukan dan hasil-hasilnya berupa prosentase kuantitatif. Kenyataan ini tentu semakin mereduksi, untuk tidak mengatakan meniadakan, realitas persepsi yang lebih dalam dan luas dari publik (pembaca) terhadap pada caleg.Â
Citra dari gambar dan kata memang dapat bernuansa puitik, tetapi dia telah dibakukan dalam sebuah kanal pembentukan persepsi tunggal, sehingga kemungkinan dialog antara teks (caleg) dan pembaca (publik) sudah tertutup.Â
Politik sebagai tindak pragmatis menemukan argumentasinya di sini. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan, mengapa politik kita saat ini bukan lagi politik ideologi. Konflik-konflik yang terjadi dalam rangka perebutan supremasi politik, tinggal konflik fisik permukaan yang lebih berakibat merusak daripada membangun.
Kemungkinan puisi dalam politik mengandaikan hadirnya kembali politik ideologi. Suatu model politik yang didasarkan pada ide-ide besar sebagai landasan ideal dan gerak pragmatiknya, yang dalam praktik paling permukaan, menjadi pembeda antara satu kekuatan politik dibanding kekuatan politik lainnya.Â