Mohon tunggu...
Aminah Azzamy
Aminah Azzamy Mohon Tunggu... Administrasi - belajar merangkai kata, merajut makna

--ibu rumah tangga dan ASN-- wanna be better IG: aminah_azzamy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pilihan Multiperan Perempuan, Yuk Hargai dan Stop "Mom Shaming"

24 Desember 2021   23:57 Diperbarui: 25 Desember 2021   22:49 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikotomi pembahasan mengenai mana yang utama, menjadi ibu rumah tangga (yang hanya mengurusi urusan domestik dalam rumah) atau kah menjadi ibu pekerja (yang sambil bekerja di sektor publik luar rumah), tak akan ada habisnya, jika masing-masing berangkat pada persepsinya, tanpa membuka ruang perbedaan pendapat dari pihak lainnya.

Berbicara tentang peran perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dan ibu rumah tangga yang sekaligus ibu pekerja, saya lebih suka menyebut sebagai perempuan yang berkarya karena maknanya sangat luas, juga tak kan habis dalam beberapa lembar tulisan saja. 

Sejatinya perempuan itu, baik sebagai ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja, semuanya adalah berkarya dan semuanya mulia.

Seorang ibu rumah tangga, selain ia fokus membesarkan anak dan mengurus rumahnya, seiring perjalanan waktu, ia pasti akan bertemu dan terlibat dengan berbagai hal, misalnya kegiatan yang sifatnya sosial atau keagamaan, arisan warga, membentuk komunitas, membuat camilan pengiring kerja bakti, dan lain-lain. Karena pastinya ia tidak benar-benar berdiam di rumah, terlebih jika anak-anak beranjak tumbuh dewasa. 

Belum lagi kemajuan teknologi sekarang ini, sangat memungkinkan para ibu rumah tangga saling terhubung dan semua itu memungkinkannya untuk berkarya nyata.

Ibu rumah tangga yang bekerja di sektor publik, ia juga tidak hanya wanita karir atau pekerja kantoran yang oleh sebagian orang dan ini kadang-kadang tidak fair dan membuat wanita pekerja yang harus bekerja di luar rumah karena berbagai alasan menjadi merasa bersalah dengan pilihannya- sering dianggap mengejar karir dan ‘mengabaikan’ urusan rumah. 

Jika ada satu dua kasus terjadi, keluarga terbengkalai karena sibuk berkarir misalnya, tentu jangan digeneralisasi dan mengambil kesimpulan secara umum yang kurang tepat. 

Karena banyak juga di antara mereka yang berhasil dan bisa mengatur waktunya dan menjalankan dua peran itu tanpa saling mempertentangkan. 

Butuh usaha lebih? Itu pasti. Tak bisa melakukan dengan sempurna? Di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Dukungan dari pasangan dan berusaha saling melengkapi atas pilihan peran yang diambil, ini yang lebih bijaksana.

Di sisi lain, kita pun pernah mendengar cerita ibu rumah tangga yang fokus di rumah tapi anggota keluarganya bermasalah. Jadi semua kembali pada kualitas sang ibu dan pemahaman akan perannya.

Perempuan yang berkarya di sektor publik ini banyak ragamnya, tapi sering di ‘state’ seakan-akan wanita yang bekerja di luar rumah itu untuk mengejar karir saja. 

Kita tentu bisa melihat bagaimana multiperan perempuan di sektor publik yang keberadaannya memang dibutuhkan sentuhan peran perempuan dan membuat kondisi menjadi dalam dinamika yang lebih nyaman.

Sebut saja misalnya guru TK, para bidan, dokter, tenaga paramedis, guru, dosen, da’iyah mubalighah, peneliti, psikolog, polwan, anggota dewan, ASN, karyawan perusahaan, pengusaha, pengrajin, koki, pengelola daycare, petani, bahkan hingga mohon maaf dibutuhkan juga tenaga kebersihan dan masih banyak lagi peran perempuan dibutuhkan di sektor lainnya. 

Tentu tak dapat kita bayangkan bukan, jika dalam peran-peran itu semua dilakukan oleh para pria karena para perempuannya harus dalam urusan domestik rumah tangganya semua?

Kita yang perempuan misal mau periksa kandungan, bagaimana jadinya jika tak ada bidan atau dokter kandungan? Kalau guru TK-nya lelaki semua, sabar-sabarkah mereka kepada anak-anak kecil kita? 

Jika tak ada polwan, mungkin saat ada demo tak ada yang bisa melobi pendemo dengan gaya komunikasi layaknya seorang ibu. Jika tak ada guru perempuan, lalu akankah anak-anak gadis kita belajar pada guru-guru lelaki saja?

Jika anggota dewan tak ada yang perempuan, mungkin keberpihakan pada urusan anak dan perempuan kurang dapat disuarakan dalam aturan perundangan. 

Jika tak ada koki-koki dari tangan handal perempuan, mungkin susah kita mencari ragam kuliner. 

Jika tak ada psikolog perempuan, ke mana mengadukan masalah-masalah tekanan pada anak dan perempuan. 

Jika petugas kebersihan hanya laki-laki saja, mungkin berbeda standar dalm melihat tingkat kebersihan kotanya. Dan masih banyak lagi jika dan mungkin lainnya.

Itu artinya betapa multiperan perempuan berkarya, sesungguhnya mewarnai seluruh sendi kehidupan kita. Banyak sektor kehidupan yang perlu sentuhan naluri keibuan. 

Benar bahwa tugas utama perempuan adalah mendidik anak-anak biologisnya. Tapi dalam konteks yang lebih luas, mendidik anak-anak generasi juga menjadi tanggung jawabnya, agar generasi penerus bisa menjadi generasi yang kuat dan dapat dibanggakan. 

Dan pelaksanaan tanggung jawab mendidik generasi ini dapat dilakukan melalui keterlibatan perempuan di banyak sektor yang nantinya akan saling berkaitan.

Di era globalisasi seperti sekarang, keterlibatan dan saling dukung antara laki-laki dan perempuan sangat diperlukan dalam upaya mengokohkan keluarga, untuk kemudian meluas kepada generasi sekitarnya. 

Makin ke sini, peran-peran perempuan di sektor publik, meski belum semua banyak didukung sarana-sarana kesetaraan gender yang memungkinkan baginya tetap bisa melakukan peran publiknya dengan tetap menjalani kodratnya. 

Misalnya ketersediaan ruang menyusui di perkantoran atau area publik, ruang bermain anak, atau jam kerja yang memungkinnya membagi waktu dengan komunikasi yang baik dengan pihak manajemen tempatnya berkarya. Ke depan diharapkan keberpihakan ini dapat terus meningkat dan berkesinambungan.

Pemahaman atas peran kekhalifahan di bumi dengan mengacu nilai-nilai agama perlu disinergikan dengan dinamika peran perempuan tanpa meninggalkan kodratnya sebagai ibu mulia penyokong utama suami dan anak-anaknya. 

Dari rahim perempuan, kehidupan dilahirkan, kehidupan diperjuangkan, dan kehidupan mendapatkan hakekat serta martabat. 

Peradaban dunia tak bisa hidup dengan penuh dinamika dan kebanggaan tanpa hadirnya sosok perempuan.

Mari saling menghargai dan mendukung pilihan perempuan. Wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga dan berkarya dari rumah, itu mulia. 

Wanita yang memilih berkarya di area publik, dalam berbagai pilihan perannya, sembari menjadi ibu rumah tangga di ranah domestik, itu juga mulia. 

Sibukkan diri kita para wanita, dengan melakukan pilihan peran masing-masing agar dapat memberikan kemaslahatan dan bukan kesia-siaan.

Tugas kita begitu banyak, sementara waktu yang kita punya serasa begitu cepat berlari. So, jangan biarkan waktu berlalu tanpa arti, apalagi sibuk melakukan ‘mom shaming’ pada ibu-ibu hebat yang fokus dalam peran yang dijalani. 

Yukkk, stop 'mom shaming'

***

Pekanbaru, 24122021

Mom shaming adalah perilaku di mana terjadi pemberian kritik atau komentar kepada seorang ibu, yang justru membuatnya tertekan karena diucapkan dengan nada negatif (Psychology Today)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun