Perempuan yang berkarya di sektor publik ini banyak ragamnya, tapi sering di ‘state’ seakan-akan wanita yang bekerja di luar rumah itu untuk mengejar karir saja.Â
Kita tentu bisa melihat bagaimana multiperan perempuan di sektor publik yang keberadaannya memang dibutuhkan sentuhan peran perempuan dan membuat kondisi menjadi dalam dinamika yang lebih nyaman.
Sebut saja misalnya guru TK, para bidan, dokter, tenaga paramedis, guru, dosen, da’iyah mubalighah, peneliti, psikolog, polwan, anggota dewan, ASN, karyawan perusahaan, pengusaha, pengrajin, koki, pengelola daycare, petani, bahkan hingga mohon maaf dibutuhkan juga tenaga kebersihan dan masih banyak lagi peran perempuan dibutuhkan di sektor lainnya.Â
Tentu tak dapat kita bayangkan bukan, jika dalam peran-peran itu semua dilakukan oleh para pria karena para perempuannya harus dalam urusan domestik rumah tangganya semua?
Kita yang perempuan misal mau periksa kandungan, bagaimana jadinya jika tak ada bidan atau dokter kandungan? Kalau guru TK-nya lelaki semua, sabar-sabarkah mereka kepada anak-anak kecil kita?Â
Jika tak ada polwan, mungkin saat ada demo tak ada yang bisa melobi pendemo dengan gaya komunikasi layaknya seorang ibu. Jika tak ada guru perempuan, lalu akankah anak-anak gadis kita belajar pada guru-guru lelaki saja?
Jika anggota dewan tak ada yang perempuan, mungkin keberpihakan pada urusan anak dan perempuan kurang dapat disuarakan dalam aturan perundangan.Â
Jika tak ada koki-koki dari tangan handal perempuan, mungkin susah kita mencari ragam kuliner.Â
Jika tak ada psikolog perempuan, ke mana mengadukan masalah-masalah tekanan pada anak dan perempuan.Â
Jika petugas kebersihan hanya laki-laki saja, mungkin berbeda standar dalm melihat tingkat kebersihan kotanya. Dan masih banyak lagi jika dan mungkin lainnya.
Itu artinya betapa multiperan perempuan berkarya, sesungguhnya mewarnai seluruh sendi kehidupan kita. Banyak sektor kehidupan yang perlu sentuhan naluri keibuan.Â