Mohon tunggu...
Afira
Afira Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Masih belajar caranya belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Rindu] Untuk Rei

8 September 2016   14:33 Diperbarui: 8 September 2016   14:53 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rupanya kau masih jadi teman diskusi yang menyenangkan yah Rei, entah itu tentang persamaan ataupun perbedaan yang ada pada kita. Kau sadar Rei? Kita, atau hanya aku? Sering kali lupa bahwa di sekeliling kita ada teman-teman kita, hei! Kau selalu berhasil membawa aku hanyut bersama topik-topik pembicaraan yang kau lontarkan. Ya, saat itu yang aku lihat hanya matamu,tajam.

Kau masih ingat kekonyolan-kekonyolan kita sewaktu SMA, Rei? Kau selalu bilang “Dapat apa kita waktu SMA? Hampir semua waktu kita habiskan untuk bersenang-senang,” Aku pun sering menimpali  “haha, Iya, ” padahal sebenarnya aku tidak setuju. Betul memang,saat SMA kita tidak menghasilkan prestasi apa-apa, usaha belajar kita standar, bahkan mungkin kurang, dan sepanjang perjalanan akademik-ku, masa SMA-lah yang paling suram.

Tapi Rei, menurutku salah besar jika kau bilang kita tidak dapat apa-apa. Untuk aku khususnya. Banyak hal yang aku dapat Rei. Salah satunya mengenal kau, mungkin. Dan persahabatan kita Rei, meski sudah berapa tahun berselang, kita masih bisa menyempatkan untuk saling bertukar kabar, berbagi cerita, tentang pengalaman juga mimpi-mimpi kita di masa depan.

“Aku ingin punya tempat ngopi yang ada library-nya, bisa akses jurnal-jurnal ilmiah gratis, dan kumplit menyediakan buku-buku referensi, ada bengkel stastistik, konslutasi tugas akhir, wow, lihat, kota tempat kita tinggal ini sepertinya potensial, semakin kesini banyak perguruan-perguruan tinggi yang mulai eksis, apalagi sekarang ada perguruan tinggi yang baru saja statusnya jadi negeri, diantara ratusan ribu mahasiswa, masa tidak satupun yang senang menghabiskan waktunya mengerjakan tugas-tugas kuliah di tempat ini ” kataku dalam obrolan ngaler-ngidul di grup WA kita.

“Akupun sempat kepikiran soal itu” katamu Rei.

Dan  salah satu sahabat kita ikut menimpali “Kenapa kalian tidak bikin saja usaha itu bareng-bareng?” dengan emoticon menjulurkan lidah, yang aku tahu maksudnya; menyindir, sesuatu yang dulu pernah ada.  Bukan, bukan soal usaha.

Sebenarnya, aku juga sudah melupakan. Berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Bisa kau lihat dalam perjumpaan-perjumpaan kita, sedikit pun aku tidak pernah membahas apa yang dulu pernah ada.  Atau, jika salah satu sahabat kita menyindir, memancing, mengode-ngode soal itu, aku lebih memilih mengalihkan pembicaraan, pura-pura main handphone, bahkan pura-pura tidak mendengar, seolah asik dengan pikiranku sendiri.

Entah kenapa masa-masa peralihan dari SMA ke bangku kuliah kadang-kadang kembali terkenang. Ketika kau menjadi sahabat yang berbeda dari sahabat lainnya.  Kau bilang “lima tahun lagi,” aku jawab “kita lihat saja nanti,” dan kita tertawa, kita sadar kita sedang bercanda, hanya bercanda. Karena sebenarnya kita sama-sama telah memilih sebuah keputusan hidup,mengakhiri masa bersenang-senang dan fokus kepada segala urusan yang menyangkut masa depan kita.

"Kau harus mau jadi nomor ke-32" katamu Rei, aku harus mau menjadi nomor sekian setelah segala urusanmu, mulai dari akademik, organisasi, komunitas, karir, keluarga, dan segala urusanmu yang lain.

Sekarang, coba kau hitung lagi, Rei. Lima tahun sejak kita bercanda soal itu, ya tepat tahun ini. Aku yakin kau pasti sudah lupa, wajar, lelaki memang mudah melupakan. Sedang bagi perempuan sebercanda apapun akan selalu terkenang. Tapi tenang saja, aku tidak mengingatnya sebagai janji, aku tahu itu bercanda.

Aku hanya mengenang apa yang telah terjadi selama lima tahun ke belakang, barangkali ada pembelajaran yang aku lewatkan. Kita sejujurnya tidak pernah mengakhiri dengan jelas, bukan? tiba-tiba semua menjadi bias, tidak lagi bertegur sapa, terpisah dua jalan pemikiran, dan akhirnya saling melupakan. Entah karena apa, mungkin kau tahu penyebabnya Rei?

Dalam lima tahun itu juga, setelah tidak bertegur sapa kita tiba-tiba kembali menghangat, hangat di dalam perdebatan, ya, sayangnya bukan berdebat soal urusan pribadi.  Semoga kau mau memaafkan kebodohanku waktu itu. Harusnya aku sadar yah Rei?  buku-buku yang aku baca tidak lebih beragam dari yang pernah kau baca, wawasanku tak seluas wawasanmu, dan segala pengalamanmu, jauh melampaui dari apa yang pernah aku alami.  Ya, harus aku akui, kalau aku memang banyak belajar darimu, tanpa kau sadari, Rei. Kau sudah lebih dulu menemukan kebijaksanaamu.

Oh yah, apa kau masih mengingat salah satu idolamu yang pernah kau ceritakan? Seorang kakek berkacamata, sosok jenaka yang berkahirsma. Dulu aku menganggapnya biasa. Namun dalam perjalanan lima tahun ini, banyak hal-hal yang mempertemukan aku dengan segala pembelajaran, tentang hidup. Betul katamu, cara berpikir dan keluhuran budi beliau sangat patut diteladani.

Dan aku tetap suka Rei yang apa adanya seperti itu, tetaplah menjadi dirimu, perjuangkan segala mimpimu, tak usah hiraukan komentar orang-orang tentang pilihan hidupmu. Kita sepakat bukan, sukses bukan diukur dari materi? Ya sukses bagi kita adalah ketika kita mampu memerankan peran yang dipercayakan kepada kita. Sebab setiap orang terlahir dengan perannya yang berbeda.

Pertemuan tadi malam, Rei, sinar matamu, dan segala yang kau ceritakan, sungguh itu  telah mempertemukan kita pada titik yang sama, dalam kesimpulan yang sama tentang kehidupan. Sejujurnya, aku merasa ada sesuatu yang kembali mekar walau sama sekali tak pernah kau siram lagi. Aku buru-buru memangkasnya sebelum ia menjadi masalah. Yah aku tak ingin merusak kehidupan kita masing-masing.

Ada juga yang tidak aku sangka-sangka, ternyata kita sedang memperjuangkan hal yang sama, Rei. Target melanjutkan studi di tempat yang sama, harapan yang sama, jalan yang sama pula. Duh, dunia memang tidak bisa ditebak!

 Susah payah aku melupakan, hingga sekarang ada yang menggantikan. Kenapa kita mesti bertemu lagi di jalan yang sama, Rei?

Seandainya target kita tercapai, dan kita kembali dipertemukan, ah Rei, aku tidak tahu harus bagaimana, aku tak ingin segegabah cinta di AADC-nya yang ke-2, tapi eh kita lihat saja nanti, gitu aja ko repot, hee iya kan Rei? 

Tasik, 08 September 2016

Afira

*Ikuti Event Fiksi Rindu bersama Bolang 7-8 September 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun