Ningsih duduk termenung. Wajahnya memandang kosong ke luar jendela, menatap hujan yang jatuh perlahan. Hujan yang sama yang menyejukkan hatinya beberapa tahun lalu. Di saat itu, Ningsih masih ingat dengan jelas, dia duduk di depan komputer jadul milik ibunya. Sebuah dunia maya yang penuh dengan kemungkinan. Di situlah ia pertama kali bertemu dengan Heru.
Di balik meja dapur yang sederhana,Heru, lelaki yang hanya ia kenal lewat kata-kata di layar komputer. Tetapi entah mengapa, setiap pesan yang dikirim Heru seolah memiliki kekuatan magis yang mengikat hatinya. Mereka berbicara tentang berbagai hal; tentang impian, harapan, bahkan rasa kesepian yang kadang sulit dibagikan kepada orang lain. Heru tidak pernah memaksa, tidak pernah membuat Ningsih merasa tertekan. Semuanya terasa mudah dan alami.
"Kalau kita bertemu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ningsih suatu malam, saat obrolan mereka sudah mencapai jam-jam larut.
Heru tertawa kecil di seberang layar. "Mungkin aku akan terdiam sejenak, merenung, dan berkata, 'Ini dia, wanita yang aku cari.'"
Ningsih tersenyum kecil, membayangkan pertemuan itu. Meskipun hanya lewat layar komputer, dia merasa seolah sudah mengenal Heru lebih dari siapa pun. Rasanya seperti ada ikatan yang lebih kuat daripada sekadar kata-kata di dunia maya.
Namun, Heru tak kunjung datang.
Waktu terus berlalu, dan meskipun Ningsih masih menunggu, hidupnya tetap berjalan. Dia mulai terjerat dalam rutinitas yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suatu hari, tanpa perasaan yang benar-benar siap, Ningsih dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki bernama Dedi. Dedi adalah seorang pria yang baik, penuh perhatian, dan datang dari keluarga yang terhormat. Namun, entah mengapa, meskipun dia menyukai Dedi, hatinya tetap kosong, seperti ada tempat yang tak bisa diisi oleh siapapun selain Heru.
Pernikahan mereka berlangsung tanpa banyak gejolak. Ningsih tidak pernah merasa benci pada Dedi, tapi hatinya selalu terbelenggu pada kenangan-kenangan yang tak pernah sepenuhnya terlupakan. Dia masih membuka akun media sosialnya setiap hari, berharap melihat kabar dari Heru. Setiap kali pesan dari Heru tidak muncul di layar ponselnya, ada rasa kosong yang menyeruak.
Pada suatu hari, Ningsih duduk di ruang tamu rumah barunya. Dedi sedang sibuk dengan pekerjaan di luar kota, dan Ningsih menikmati sepi. Tanpa sengaja, ia membuka kembali pesan-pesan lama antara dirinya dan Heru, yang sudah lama tak terjamah. Ia membacanya satu per satu, mengingat kembali betapa bahagianya dirinya dulu ketika setiap malam menunggu pesan-pesan singkat dari Heru.
Tiba-tiba, sebuah pesan baru muncul di layar ponselnya.
"Ningsih, aku Heru. Maaf, aku baru bisa menghubungimu sekarang. Apa kabar?"