Detak jantung Ningsih langsung berpacu cepat. Heru! Setelah sekian lama, akhirnya dia datang juga. Tanpa berpikir panjang, Ningsih segera membalas pesan tersebut.
"Heru... kenapa lama sekali?"
Beberapa menit kemudian, pesan balasan Heru muncul.
"Maafkan aku, aku banyak hal yang harus aku urus. Tapi aku selalu ingat kamu, Ningsih. Aku selalu berharap bisa bertemu denganmu."
Ningsih merasa seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata itu menghidupkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur dalam-dalam. Dia menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong, seperti tak percaya bahwa Heru akhirnya menghubunginya setelah sekian lama. Tapi entah mengapa, ada sebuah perasaan yang menggelisahkan dalam hatinya. Mengapa Heru tidak pernah memberi kepastian?
Ningsih merasa bingung. Di satu sisi, dia sangat merindukan Heru, namun di sisi lain, hidupnya kini sudah berjalan bersama Dedi. Pernikahan itu mungkin tidak sepenuhnya memenuhi hatinya, tapi Dedi adalah orang yang baik, yang selalu berusaha mencintainya.
Heru kembali mengirim pesan.
"Aku tahu, mungkin kamu sudah ada yang menemanimu sekarang. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak pernah lupa padamu, Ningsih."
Kata-kata itu semakin mengguncang hati Ningsih. Di satu sisi, dia ingin menjawab, ingin memberi tahu Heru bahwa ia juga merindukannya, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia sudah menjadi istri orang. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia yang berbeda. Dunia maya yang menghangatkan hatinya dengan impian dan janji-janji manis, dan dunia nyata yang membawanya pada kenyataan yang tak bisa ia ubah.
Hingga suatu malam, ketika Dedi pulang lebih awal dari perjalanan dinasnya, Ningsih duduk di kamar, termenung. Dedi menyadari bahwa istrinya tampak murung dan tidak seperti biasanya. Dia duduk di samping Ningsih, menatapnya dengan penuh perhatian.
"Ningsih, ada apa denganmu? Kamu kelihatan seperti sedang menunggu sesuatu," tanya Dedi dengan lembut.