Ngopi menjadi budaya yang merebak di beberapa daerah, salah satunya di daerah Kabupaten Ponorogo. Maraknya warung kopi di Ponorogo tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat untuk menikmati kopi dan makanan khas seperti jadah bakar di pagi hari sebelum memulai aktivitas. Adanya kebiasaan tersebut menarik beberapa media yang menulis bahwa Ponorogo merupakan kabupaten slow living.
Menjadi ciri khas warung kopi di Ponorogo memiliki pelayan perempuan dengan penampilan yang cantik, seksi, dan menarik. Warung kopi tersebut disebut dengan warung kopi pangku oleh masyarakat.Â
Pelayan perempuan dalam warung kopi menjadi daya tarik bagi penikmati kopi untuk datang kembali membeli kopi, mempekerjakan perempuan sabagai pelayan di warung kopi merupakan strategi pemilik usaha yang dimana pemilik usaha tersebut di dominasi oleh laki-laki.Â
Perempuan sebagai pelayan di warung kopi sering mendapat perlakuan tidak senonoh dari pembeli seperti ; cat calling, memegang area privasi, dicubit mesra, hingga ajakan untuk 'ngamar'.Â
Jam kerja yang dimulai dari sore hari hingga menjelang pagi, menjadikan pelayan perempuan ini tidak mendapat perlindungan. Pelayan perempuan ini beragam, mulai remaja hingga berumur. Di setiap warung kopi pelayan memiliki tugas untuk memberikan rangsangan ke para pelanggan untuk kecanduan sama pelayanan yang diberikan.Â
Pelayan perempuan dari yang sudah berstatus janda sampai yang belum menikah gaya berpakaiannya itu serba mini dan ketat ditambah adanya lampu remang- remang yang memberi sinyal ke pada pelanggan sehingga mempunyai nilai lebih untuk menarik pelanggan.
Di tempat-tempat ini, perempuan sering kali berperan sebagai pelayan yang terjebak dalam hubungan kekuasaan yang tidak setara. Mereka diharapkan untuk memberikan layanan yang lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan pelanggan, tetapi sering kali tanpa mendapatkan imbalan yang adil atau perlindungan dari kondisi kerja yang tidak menguntungkan.Â
Keadaan seperti ini bisa dikatakan adanya eksploitasi tubuh perempuan dalam praktik warung kopi, atas kekuasaan laki-laki sebagai pemilik warung. Dalam hal ini terdapat bubungan antara kekuasaan dan dominasi laki-laki atas pelayan perempuan di warung kopi, yang mencerminkan bahwa realitas sosial masih banyak terjadi di berbagai tempat.Â
Dalam konteks ini, dominasi laki-laki tidak hanya berfungsi sebagai struktur sosial yang memperkuat ketidaksetaraan, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang tidak adil bagi perempuan.
Eksploitasi atas pelayan perempuan ini merupakan cara pandang masyarakat terhadap peran gender. Banyak pelanggan laki-laki yang masih menganggap perempuan sebagai sosok yang hanya bertugas melayani, sehingga mereka cenderung meremehkan kemampuan dan pengetahuan perempuan di bidang yang mereka geluti.Â
Hal ini tidak hanya mengikis kepercayaan diri perempuan, tetapi juga membatasi peluang mereka untuk berkembang dan berkontribusi secara lebih signifikan.Â
Di sisi lain, dominasi ini juga dapat dipahami sebagai cerminan sistem patriarki yang mengakar dalam budaya. Banyak perempuan, termasuk pelayan di warung kopi, sering kali diposisikan sebagai "yang lebih rendah" dalam hierarki sosial.
Kebalikan dari hal itu, beberapa pelayan perempuan menggeluti pekerjaan ini dengan senang hati, menurut pengakuan mereka semua karena sudah terbiasa. Perasaan senang hati ini terjadi karena adanya kesepakatan antara pelayan perempuan dengan pemilik usaha, dimana keadaan akan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.Â
Mereka bisa mengabaikan atau bahkan kadang menanggapi Tindakan cat calling, memegang area privasi, dicubit mesra, hingga ajakan untuk 'ngamar'.Â
Perasaan senang hati seorang pelayan perempuan yang bekerja di warung kopi bisa berasal dari berbagai sumber, meskipun lingkungan kerja sering kali dipenuhi tantangan. Salah satu aspek yang sering membuat pelayan perempuan merasa senang adalah hubungan yang terjalin dengan pelanggan.Â
Momen ketika pelanggan mengenali mereka, memberikan pujian, atau bahkan berbagi cerita bisa menjadi penyemangat. Interaksi ini tidak hanya memberikan rasa dihargai, tetapi juga menciptakan koneksi sosial yang bisa mengurangi rasa kesepian dalam pekerjaan yang sering kali monoton.
Jadi dalam fenomena maraknya pelayan perempuan di warung kopi, kita dihadapkan pada realitas yang kompleks. Di satu sisi, banyak pelayan perempuan di warung kopi mengalami eksploitas baik dalam bentuk perlakuan yang merendahkan maupun ketidakadilan dalam kesempatan kerja.Â
Namun, disisi lain pekerjaan ini menjadi hal yang menyenangkan bagi beberapa perempuan karena perasaan senang dapat melayani pelanggan dengan baik.Â
Maraknya warung kopi di Ponorogo yang memiliki pelayan perempuan, menunjukkan realita bahwa perempuan atas pilihan hidupnya terutama pekerjaan, bisa berada diantara dominasi atas laki-laki dan keinginan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H