SEJARAH LARUNGAN TELAGA NGEBEL
Bulan Muharam atau lebih dikenal dengan istilah Suro oleh kalangan Jawa menjadi bulan yang memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Jawa. Hal tersebut juga masih berlaku bagi masyarakat Kabupaten Ponorogo. Kedatangan Bulan Suro disambut dengan antusias oleh banyak orang di Ponorogo.
 Terlebih diadakannya beberapa tradisi penyambutan Bulan Suro yang masih dipertahankan membuat kehadiran Bulan Suro semakin semarak. Rangkaian kegiatan yang diadakan di antaranya seperti Grebeg Suro, Festival Reyog Ponorogo dan tradisi larungan di Telaga Ngebel.
Diadakannya peringatan bulan Suro merupakan bentuk kesinambungan dari tradisi yang dicetuskan oleh Sultan Agung (16163-1645) dari Mataram .
 Sultan Agung raja terbesar Mataram Islam menciptakan kalender yang memadukan sistem penanggalan Islam, Hindu (Saka) dan unsur Julian dari Eropa, keunikan sistem kalender Sultan Agung adalah tetap melanjutkan tahun Saka terbukti dengan dimulainya penanggalan ini pada tahun 1547 Saka atau 1547 Jawa bukan tahun pertama Jawa.Â
Terdapat 12 bulan dan seminggu 7 hari dari Ahad sampai Sabtu dan dalam sistem penanggalan Sultan Agung yang namanya merupakan unsur perpaduan antara bahasa Sansekerta, Jawa dan Arab dengan jumlah hari mencapai 355 hari (sesuai peredaran bulan).Â
Kesultanan Mataram Islam dengan segera mengeluarkan dekrit pada tahun 1625 yang berisi seluruh wilayah kekuasaan Mataram Islam wajib menggunakan sistem kalender dari Sultan Agung tidak terkecuali Ponorogo yang menjadi bagian dari wilayah Mataram Islam.
 Nama bulan pertama dalam penanggalan tersebut adalah bulan Suro dan dianggap sebagai bulan yang penuh berkah apabila melakukan ritual tertentu sesuai dengan tradisi diwilayah masing-masing. Tradisi Suronan yang cukup unik di Kabupaten Ponorogo adalah diselenggarakannya tradisi larungan yang dilakukan di Telaga Ngebel.
Larungan merupakan tradisi yang rutin dilakukan di Telaga Ngebel dalam rangka menyambut Bulan Suro. Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo menjadi  salah satu tempat yang cukup dikenal sebagai lokasi penyelenggaraan larungan.Â
Pemilihan Telaga Ngebel sebagai tempat berlangsungnya larungan tidak terlepas dari mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Desa Ngebel dan warga Ponorogo pada umumnya bahwa telaga Ngebel masih dianggap memiliki tempat yang bertuah bahkan Bathoro Katong Adipati Ponorogo pertama pernah bertapa di sekitar air terjun yang tidak jauh lokasinya dari telaga Ngebel dan tempat tersebut diberi nama Kucur Bathoro yang sampai sekarang dianggap keramat dan sakral.
Warga Telaga Ngebel memliki legenda berkaitan dengan legenda terbentuknhya telaga ini, menurut mitos dahulu kala terdapat seorang patih yang sedang bertapa dan menjelma menjadi seekor ular naga.Â
Ular naga tersebut dikenal dengan nama Baru Klinting. Ketika penduduk suatu desa hendak membunuh Baru Klinting, ular tersebut justru menjelma menjadi seorang anak laki-laki kecil.Â
Orang-orang di sekitar Baru Klinting sangat meremehkannya sebab penampilan fisiknya yang buruk rupa. Singkat cerita Baru Klinting membuat sayembara, bagi siapa saja yang bisa mencabut lidi yang telah ditancapkan ke tanah maka akan mendapatkan hadiah. Akan tetapi ternyata tidak seorangpun yang mampu mencabut lidi tersebut.Â
Satu-satunya yang dapat mencabut lidi tersebut adalah Baru Klinting sendiri. Setelah lidi tercabut, keluar air dari lubang yang ditimbulkan oleh lidi dan sumber air tersebut kian membesar dan menenggelamkan penduduk sehingga membentuk Telaga Ngebel. Oleh sebab mitos tersebut banyak masyarakat Ngebel yang percaya bencana yang seringkali terjadi di sekitar Telaga Ngebel haruslah dicegah dengan larungan sebagai pengganti korban jiwa manusia dengan mengorbankan hasil bumi.
Secara geografis, daerah sekitar Telaga Ngebel merupakan daerah subur yang sangat potensial. Iklim yang sejuk dan pengairan cukup menyebabkan tanah di sekitar Telaga Ngebel mampu menghasilkan berbagai macam tumbuhan pangan yang berpotensi ekonomis.Â
Sebagai wujud syukur masyarakat Ngebel atas anugerah besar tersebut maka diselenggarakanlah tradisi larungan. Larung sesaji dapat diartikan menghanyutkan sesaji yang berisi hasil bumi dilakukan mempunyai tujuan sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah memberi berkah kepada manusia, serta memohon perlindungan dan keselamatan kepada Tuhan
Â
LARUNGAN TELAGA NGEBEL
Dalam kegiatan larungan Telaga Ngebel ada beberapa hal yang dilakukan, diantaranya :
- Memandikan dan menyembelih kambing kendhit. Kambing kendhit merupakan simbol dari sesuatu yang istimewa sebagai persembahan. Hal tersebut yang melatarbelakangi pemilihan kambing kendhit sebagai persembahan pada prosesi larungan di Telaga Ngebel. Setelah kambing kendhit disembelih, darahnya dikumpulkan untuk dilarung di Telaga Ngebel.
- Pelarungan darah kambing kendhit. Kegiatan melarung darah kambing kendhit  ke dalam Telaga Ngebel menjadi inti dari prosesi larungan. Persembahan yang diberikan masyarakat Ngebel dialirkan bersama air Telaga Ngebel yang dianggap sebagai berkah. Darah yang dilarung sebagai representasi rasa syukur dan hormat masyarakat Ngebel terhadap keberadaan Telaga Ngebel.
- Penguburan kaki dan kepala kambing kendhit. Setelah pelarungan darah, kaki dan kepala kambing kendhit dikubur di dalam tanah. Bahkan kaki dan kepala kambing kendhit tersebut dibungkus kain kafan.Â
- Penguburan tersebut dimaksudkan agar persembahan yang telah diberikan dapat menyatu dengan tanah Telaga Ngebel.
- Melarung gunungan berisi hasil bumi baik berupa sayur-sayuran dan buah-buahan pada malam hari yang harus dilakukan tepat pada pukul 24.00 WIB ke telaga oleh beberapa orang yang sudah terlatih.Â
- Keliling dengan jalan kaki tanpa alas kaki di jalan memutar Telaga Ngebel yang dilaukan pemuda Ngebel dengan membawa obor pada malam satu Suro
Serangkaian prosesi di atas hanya dilaksanakan dan diikuti oleh orang-orang tertentu khususnya warga Telaga Ngebel. Larungan di Telaga Ngebel dengan konsep tradisional tersebut tertutup untuk umum agar ketenangan dan kekhususkan dalam kegiatan terjaga dengan baik.Â
Lebih lagi waktu pelaksanaan pada tengah malam 1 Suro memang bagi masyarakat Jawa adalah waktu yang sakral tuidak terkecuali warga Telaga Ngebel.
Kalangan adat Telaga Ngebel masih menjaga kepercayaan dan tradisi mereka yang memang telah hidup sejak lama dan terus berusaha untuk melestarikannya. Meskipun seiring berjalannya waktu muncul beberapa hambatan seperti ancaman modernisasi dan pertentangan berkaitah kegiatan larungan itu sendiri.Â
Ini bisa dilihat dari pergantian nama kegiatan tersebut, awalnya bernama Larung Sesajen, kemudian berganti nama menjadi larung Risalah Doa dan pada akhirnya berganti lagi menjadi Larungan saja. Kalangan agamawan khusunya Islam menilai bahwa sejatinya tahun baru Islam juga harus menunjukkan yang bernuansa Islami dan larungan Telaga Ngebel tidak mewakili hal tersebut sehingga harus berganti nama.Â
Penggantian nama ini ternyata hanya sementara karena golongan budayawan menilai bila penggantian nama tersebut tidak memberikan penghargaan yang cukup pada tradisi lokal dan budaya lokal masyarakat Telaga Ngebel yang telah mengakar begitu kuat sehingga nama kegitan tersebut berganti menjadi Larungan saja.
ANTARA AGAMA DAN BUDAYA
Kebudayaan di Indonesia sangatlah beranekaragam, hal itu terjadi karena banyak suku-suku bangsa di Indonesia memiliki kebudayaan yang unik sebagai bentuk jati diri mereka.Â
Hingga kini kebudayaan itu terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman, hampir semua kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia merupakan kebudayaan. Salah satu kebudayaan khas yang menjadi ciri di  Kabupaten Ponorogo tepatnya warga Ngebel adalah tradisi larung sesaji di Telaga Ngebel.
Larungan Telaga Ngebel adalah tradisi yang mencerminkan hubungan erat antara agama dan budaya di masyarakat setempat. Dalam ritual ini, masyarakat mengadakan persembahan berupa berbagai macam hasil bumi dan makanan yang dilarung ke telaga sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada roh nenek moyang.Â
Kegiatan ini tidak hanya mencerminkan kepercayaan spiritual, tetapi juga melambangkan nilai-nilai budaya lokal yang telah terjalin dalam kehidupan sehari-hari.
 Melalui Larungan, masyarakat mengintegrasikan ajaran agama dengan praktik budaya, menciptakan sebuah kesatuan yang memperkuat identitas komunitas. Tradisi ini menjadi sarana untuk mempertahankan warisan budaya sekaligus memperdalam keimanan, menunjukkan bagaimana agama dan budaya saling mempengaruhi dan memperkaya satu sama lain dalam konteks sosial yang lebih luas.
Tradisi larung sesaji di Telaga Ngebel yang rutin digelar setiap malam satu Suro, merupakan rangkaian acara Grebeg Suro di Ponorogo yang masih eksis hingga sekarang. Â Dalam perspektif agama, tradisi larung sesaji memiliki nilai-nilai luhur budaya masyarakat lokal warga yang hidup dikawasan Ngebel sebagai wujud rasa syukur terhadap Tuhan dengan alam yang menopang kehidupan mereka.Â
Banyaknya masyarakat yang ikut serta dalam prosesi larungan sebagai bentuk rasa syukur, maka tradisi ini sekarang dilakukan menjadi dua bagian, bagian pertama dilakukan malam menjelang satu Suro dengan kegiatan lebih ditujukan untuk ungkapan rasa syukur kepada alam sesuai dengan tradisi sebelumnnya yang ada, sedangkan bagian kedua pagi hari tepat tanggal satu Suro yang kegiatanya lebih ditujukan untuk pariwisata dengan kegiatan setelah larungan terdapat hiburan tari-tarian dan musik dangdut dan tersedia kuliner yang beraneka ragam yang bisa dinikmati pengunjung.
Dari sisi prosesi akan terlihat budaya yang sudah ada sejak turun temurun. terdapat dua proses yang dilakukan masyarakat Ngebel yaitu Larungan dan Larung Sesaji, dari keduanya terdapat perbedaan dari sesaji dan doa.Â
Pada larung  ukuran sesajinya jauh lebih besar, terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya. Dalam larungan, sesajian sebagian besar diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan dan diadakan seperti doa bersama.Â
Sedangkan tradisi larung sesaji yang masih sakral menggunakan sesaji menggunakan tumpeng, buceng agung, bahkan kepala kambing untuk kemudian didoakan oleh para sesepuh sebelum ditenggelamkan di Telaga Ngebel.Â
Mengamati adanya kegiatan tambahan keesokan harinya pada kegiatan larungan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergesaran nilai dan norma tradisi lokal demi faktor pariwisata untuk pendapatan daerah.
Dalam melihat kegiatan Larungan Telaga Ngebel dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan yang menyebabkan kegiatan Larungan yang pada awalnya berlangsung secara penuh dengan nilai-nilai luhur tradisi dalam ungkapan terima kasih kepada alam yang diwujudkan dengan sedekah hasil bumi dan dilarung dalam telaga saat tengah malam.Â
Kegiatan tersebut diawali dengan penyembelihan kerbau dan dikubur dalam beberapa titik tertentu sebagai ungkapan persembahan kepada alam atas hasil bumi yang didapat.
Tidak lupa kegiatan tersebut juga merupakan ungkapan terima kasih kepada penguasa gunung dalam hal ini penguasa Gunung Wilis atas anugerah yang diberikan, telaga Ngebel lokasinya terletak didataran tinggi dengan hawa sejuk di kaki Gunung Wilis yang memiliki potensi hasil alam sepeerti teh, kopi, cokelat dan durian khas yaitu durian Ngebel.
Semakin berkembangnya zaman, muncul pro kontra terhadap tradisi larungan karena ada pihak yang mengakatan bahwa larungan merupakan kegiatan yang syirik karena memohon doa dengan cara melarung sesaji ke sebuah telaga.Â
Menyikapi hal tersebut, terjadilah pergeseran kegiatan yang awalanya hanya melarung sesaji dengan sakral dan tertutup kemudian berubah menjadi melarung sesaji dengan tambahan doa sebagai rasa syukur kepada Tuhan YME atas segala kemurahan sumber daya alam yang diberikan.
 Tradisi larungan zaman dulu harus sakral dan hanya beberapa orang saja boleh mengikuti seperti warga yang dituakan dalam desa, bahkan ada ketentuan untuk perempuan hanya yang belum menikah boleh mengikuti.
 Sedangkan sekarang tradisi larungan sudah mulai terbuka untuk diikuti semua kalangan masyarakat. Ini menunjukkan sekaligus mempertegas bahwa pergersan nilai dan budaya ini tidak melepas nilai dan budaya yang asli karena pengembangan yang dilakukan tidak meninggalkan hal yang asli dan justru membawa manfaat bagi warga telaga Ngebel.Â
Meskipun sebenarnya dapat dikatakan bahwa kesakralan akan larungan saat ini berkurang apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena sudah semakin banyak masyarakat yag berkunjung dan menjadikan larungan ini sebagai salah satu daya tarik pariwisata.
Masyarakat Ponorogo sendiri yang notabene dikenal sebagai kota santri dengan banyaknya lembaga pendidikan pesantren yang ada di Ponorogo termasuk yang terkenal adalah Pondok Gontor, tetapi juga dikenal dengan masyarakat yang kentak dengan tradisi dan budaya Jawa (kebatinan).
 Kabupaten Ponorogo sendiri secara geografis dekat dengan Surakarta yang dianggap sebagai simbol Jawa sehingga masyarakat Ponorogo sendiri juga lekat dengan tradisi dan budaya Jawa seperti kepercayaan terhadap tahun baru Islam (Suro) yang dianggap bulan berkah dengan melakukan kegiatan-kegaiatn tertentu seperti jamasan pusaka, bersih desa atau tidak tidur sepanjang malam dengan berjalan-jalan untuk mendapatkan berkah seperti awet muda dan penghasilan meningkat.
Tradisi larungan tersebut membuktikan bahwa agama dan budaya memiliki hubungan yang mendalam dan saling melengkapi, terutama ketika keduanya berjalan selaras dalam membawa kedamaian.Â
Ketika nilai-nilai agama diintegrasikan dengan tradisi budaya, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang harmonis, di mana prinsip-prinsip spiritual seperti kasih sayang, toleransi, dan saling menghormati menjadi fondasi interaksi sosial.Â
Dalam konteks ini, ritual dan tradisi budaya sering kali mencerminkan ajaran agama yang mengajarkan kedamaian, menciptakan ruang bagi dialog antarbudaya dan antaragama.Â
Dengan menghargai perbedaan dan merayakan kesamaan, masyarakat dapat membangun jembatan yang mengurangi konflik dan meningkatkan pemahaman, sehingga agama dan budaya berfungsi sebagai sumber inspirasi dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H