Mohon tunggu...
Amey fadhilah
Amey fadhilah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pascasarjana IPS Universitas Jember

Ketertarikan saya terhadap kepenulisan berawal dari kebiasaan membaca majalah Horison milik saudara, setelah masuk SMA saya ikut ekstrakurikuler Jurnalistik menjadi tim berita. Kemudian saat kuliah S1 di Universitas Negeri Malang saya menjadi jurnalis kampus, pengalaman yang luar biasa bisa mengenal banyak sivitas akademi di kampus.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Agama dan Budaya: Tradisi Larungan Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo

26 Oktober 2024   22:45 Diperbarui: 27 Oktober 2024   08:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sedangkan sekarang tradisi larungan sudah mulai terbuka untuk diikuti semua kalangan masyarakat. Ini menunjukkan sekaligus mempertegas bahwa pergersan nilai dan budaya ini tidak melepas nilai dan budaya yang asli karena pengembangan yang dilakukan tidak meninggalkan hal yang asli dan justru membawa manfaat bagi warga telaga Ngebel. 

Meskipun sebenarnya dapat dikatakan bahwa kesakralan akan larungan saat ini berkurang apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena sudah semakin banyak masyarakat yag berkunjung dan menjadikan larungan ini sebagai salah satu daya tarik pariwisata.

Masyarakat Ponorogo sendiri yang notabene dikenal sebagai kota santri dengan banyaknya lembaga pendidikan pesantren yang ada di Ponorogo termasuk yang terkenal adalah Pondok Gontor, tetapi juga dikenal dengan masyarakat yang kentak dengan tradisi dan budaya Jawa (kebatinan).

 Kabupaten Ponorogo sendiri secara geografis dekat dengan Surakarta yang dianggap sebagai simbol Jawa sehingga masyarakat Ponorogo sendiri juga lekat dengan tradisi dan budaya Jawa seperti kepercayaan terhadap tahun baru Islam (Suro) yang dianggap bulan berkah dengan melakukan kegiatan-kegaiatn tertentu seperti jamasan pusaka, bersih desa atau tidak tidur sepanjang malam dengan berjalan-jalan untuk mendapatkan berkah seperti awet muda dan penghasilan meningkat.

Tradisi larungan tersebut membuktikan bahwa agama dan budaya memiliki hubungan yang mendalam dan saling melengkapi, terutama ketika keduanya berjalan selaras dalam membawa kedamaian. 

Ketika nilai-nilai agama diintegrasikan dengan tradisi budaya, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang harmonis, di mana prinsip-prinsip spiritual seperti kasih sayang, toleransi, dan saling menghormati menjadi fondasi interaksi sosial. 

Dalam konteks ini, ritual dan tradisi budaya sering kali mencerminkan ajaran agama yang mengajarkan kedamaian, menciptakan ruang bagi dialog antarbudaya dan antaragama. 

Dengan menghargai perbedaan dan merayakan kesamaan, masyarakat dapat membangun jembatan yang mengurangi konflik dan meningkatkan pemahaman, sehingga agama dan budaya berfungsi sebagai sumber inspirasi dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun