Perceraian Gading & Gisel sempat menghebohkan publik beberapa minggu lalu. Sebenarnya, perceraian bukan lagi hal yang menghebohkan di kalangan selebriti Indonesia, tapi yang menjadi perhatian publik adalah nasib anak pasangan ini, yaitu Gempi.
Setelah berita perceraian kedua orangtuanya mulai hangat dibicarakan di berbagai media, tagar #SaveGempi pun sempat menjadi trending topic di Twitter. Banyak netizen yang merasa kasihan dengan keadaan Gempi, karena di usianya yang ke lima ia harus menelan kenyataan bahwa orangtuanya telah bercerai.Â
Pandangan awam mengenai anak sebagai "korban" perceraian semakin menguatkan stigma bahwa anak yang tumbuh dengan orangtua yang berpisah akan cenderung untuk berperilaku negatif atau memiliki tekanan psikologis. Benarkah pandangan tersebut? Lalu apa dampak perceraian bagi kepribadian anak?
Dampak Negatif Perceraian terhadap Anak
Penelitian yang dilakukan di tahun 2000-an membuktikan bahwa anak-anak membawa beban traumatis yang panjang setelah perceraian kedua orangtua mereka. Tentunya hal ini berpengaruh pada kesejahteraan psikologis dan hubungan sosial mereka di masa depan.
Sangat mungkin bagi anak untuk mengalami berbagai masalah emosi, kognisi atau perilaku, karena perceraian dapat menyebabkan rasa sakit yang panjang, khawatir, dan penyesalan yang dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan anak (Alisic dkk., 2008).Â
Perceraian kedua orangtua juga memicu timbulnya perasaan negatif pada anak, sehingga kemungkinan besar anak dapat mengembangkan perilaku bermasalah di kemudian harinya. Konflik yang terus muncul antara kedua pasangan yang baru saja bercerai tentunya akan mengakibatkan berbagai masalah lain, seperti terbatasnya akses anak terhadap salah satu orangtua lainnya dan akses bermain yang terbatas di lingkungan anak.Â
Perceraian tidak hanya menjadi stressor yang tinggi bagi mereka yang bercerai, namun juga bagi orang-orang terdekat mereka, seperti anak, yang tentunya akan berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental mereka.
Kemampuan Anak Beradaptasi Pasca Perceraian
Penelitian yang dilakukan Amato dan Afifi (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar anak. mampu beradaptasi dengan baik setelah perceraian orangtua mereka. Selain itu, layaknya orang dewasa, anak-anak juga memiliki reaksi yang berbeda-beda terhadap suatu situasi dan stress yang muncul dari lingkungan.Â
Reaksi yang berbeda pada tiap anak inilah yang mendukung bahwa tidak semua anak menjadi "korban" perceraian. Mereka tetap dapat tumbuh dengan baik, sejahtera secara psikologis, dan berperilaku sesuai norma dan nilai masyarakat. Anak sebagai agen yang aktif, dipercaya mampu mengadaptasi berbagai tantangan di sekitar mereka dan membentuk penyesuaian diri mereka secara mandiri.Â
Biasanya, anak-anak dengan self-esteem (harga diri) yang tinggi adalah individu yang mampu menciptakan "proteksi diri" setelah perceraian kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan karena anak dengan tingkat self-esteem yang tinggi cenderung meminta dukungan dan respon positif dari orang lain di sekitarnya, sehingga mereka lebih mampu menghadapi tantangan dan pengalaman hidup yang penuh stress dibanding anak lain dengan self-esteem rendah.
Kepribadian Anak Pasca Perceraian
Kepribadian saat ini lebih sering dikaji menggunakan teori trait kepribadian Big Five yang dikembangkan oleh Costa & McCrae. Dalam teori ini dikatakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima trait dasar. Pertama, Extraversion yang mengacu pada sosiabilitas, asertivitas dan energi yang tinggi pada seseorang.Â
Kedua adalah Openness to Experience yang lekat dengan kreativitas dan rasa ingin tahu, dan keinginan untuk mengeksplorasi pada seseorang. Ketiga, Conscientiousness mengindikasikan orang yang selalu teratur dan taat aturan.
Keempat adalah Agreeableness yang baik hati, memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dan mudah dipengaruhi orang lain dan kelima yaitu Neuroticism yang erat dengan kepribadian yang rapuh, mudah cemas dan mudah stress.
Anak-anak umumnya cenderung memiliki trait Agreeableness yang tinggi, karena sifat anak-anak yang memiliki rasa kasih sayang dan kooperatif yang tinggi, meskipun mereka juga mudah marah dan kurang tegas dalam bertindak (Mervielde and De Fruyt, 2002). Selain itu, trait Conscientiousness yang membentuk kontrol diri, motivasi dan keinginan untuk berprestasi juga turut berkembang di usia anak-anak (Caspi, dkk., 2005).Â
Dalam kasus perceraian, anak yang masih butuh untuk meluapkan perasaan sayang kepada kedua orangtuanya tentu akan merasa bingung jika kedua orangtua mereka hidup secara terpisah, menjauh, dan mengurangi interaksi satu sama lain. Kepribadian mereka yang lembut, tulus dan naf sebagai bentuk dari dominansi trait Agreeableness tentu akan terluka.Â
Selain itu, tingginya trait Conscientiousness menandakan anak masih nyaman untuk hidup dalam rutinitas dan keteraturan. Anak tentunya akan merasa tertekan jika pasca perceraian kedua orangtuanya, ia harus pindah sekolah atau menjalani kehidupan tanpa aktivitas rutin yang biasa ia lakukan dengan salah satu figur orangtuanya.Â
Seperti contohnya, saat ia kehilangan sosok ibu yang biasa membacakan cerita sebelum tidur, karena ibunya memutuskan untuk pergi dari rumah setelah bercerai.Â
Kehilangan rutinitas yang biasa ia lakukan dengan orangtuanya secara mendadak dapat membuat anak lebih mudah stress. Tentunya hal ini akan berdampak pada menurunnya motivasi belajar sehingga tak jarang kemampuan akademik anak merosot secara drastis pasca perceraian.
Meskipun trait bersifat fluktuatif dan tingkatannya dapat terus berubah-ubah karena berbagai peristiwa selama rentang kehidupan, namun sebagai orangtua kita perlu untuk menjaga agar trait kepribadian anak mampu berkembang dengan baik, agar anak mampu menghadapi stressor yang terus muncul pasca perceraian.Â
Nyatanya, trait kepribadian pada anak dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua yang tepat, sehingga self-esteem anak akan meningkat dan anak mampu beradaptasi pasca perceraian. Antara usia 10 sampai 16 tahun, anak menunjukkan perkembangan kepribadian yang positif, ditandai dengan meningkatnya self-esteem, namun hal ini tidak berpengaruh pada anak-anak yang mengalami masalah keluarga.Â
Anak-anak dalam keluarga yang bermasalah cenderung untuk memiliki hambatan pada perkembangan kepribadian mereka. Sebagai dampaknya, masalah psikologis akan muncul di kemudian hari.
Meningkatkan Self-Esteem pada AnakÂ
Penerapan pola asuh autoritatif dapat menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan self-esteem anak. Menghargai keputusan dan pendapat anak di dalam keluarga mampu membuat anak merasa utuh menjadi seorang individu, sehingga harga diri anak pun akan meningkat.Â
Misalnya, saat membeli baju untuk anak ada baiknya ia diberikan kesempatan untuk memilih baju yang ia sukai. Hal-hal sederhana yang diterapkan dalam keluarga dapat melatih anak dalam mengambil keputusan besar saat ia dewasa. Selain itu, latih anak untuk melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga sederhana seperti mencuci piring atau menyapu.Â
Mungkin terkesan bossy, tapi nyatanya dengan hal ini anak akan belajar untuk mengasah kemampuan baru. Tentu ini akan mendorong motivasi anak untuk terus mengembangkan kompetensi baru nantinya. Selanjutnya, jangan biasakan selalu membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Latih ia untuk berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri, dan baru bantu ketika ia merasa kesulitan atau tidak mampu menyelesaikannya.Â
Dengan begitu, anak akan mengembangkan kemampuan problem solving yang lebih mandiri dibanding anak lain. Terakhir, jangan lupa selalu bersikap adil pada semua anak Anda, dengan cara tidak membandingkannya dengan saudara-saudaranya. Beritahu padanya bahwa tidak ada manusia yang sempurna, maafkan segala kesalahan dan kekurangan pada setiap anak.Â
Hasilnya, anak juga akan belajar untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan pada dirinya dan pada orang lain. Hal ini tentu akan membantu anak untuk memahami bahwa perceraian bukan hal yang selalu negatif. Dengan pola asuh yang baik, anak akan mampu beradaptasi dan berkembang dengan baik, dan menjadi individu dengan pribadi yang positif.
- Alisic, E., Van der Schoot, T. A., van Ginkel, J. R., & Kleber, R. J. (2008). Looking beyond posttraumatic stress disorder in children: Posttraumatic stress reactions, posttraumatic growth, and quality of life in a general population sample. Journal of Clinical Psychiatry, 69(9), 1455-1461
- Amato, P. R., & Afifi, T. D. (2006). Feeling caught between parents: Adult children's relations with parents and subjective wellbeing. Journal of Marriage and Family, 68(1), 222-235.
- Mervielde, I., & De Fruyt, F. (2002). Assessing children's traits with the Hierarchical Personality Inventory for Children. In Big five assessment (pp. 127-146). Hogrefe & Huber Publishers.
- Caspi, A., Roberts, B. W., & Shiner, R. L. (2005). Personality development: Stability and change. Annu. Rev. Psychol., 56, 453-484.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H