Mohon tunggu...
Amalia Adhandayani
Amalia Adhandayani Mohon Tunggu... Freelancer - Akademisi.

Mempelajari psikologi dan kepribadian manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perceraian Gading-Gisel, Tagar #SaveGempi, dan Dampak Cerai bagi Kepribadian Anak

8 Desember 2018   10:24 Diperbarui: 20 Mei 2022   23:08 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : masterfile.com

Reaksi yang berbeda pada tiap anak inilah yang mendukung bahwa tidak semua anak menjadi "korban" perceraian. Mereka tetap dapat tumbuh dengan baik, sejahtera secara psikologis, dan berperilaku sesuai norma dan nilai masyarakat. Anak sebagai agen yang aktif, dipercaya mampu mengadaptasi berbagai tantangan di sekitar mereka dan membentuk penyesuaian diri mereka secara mandiri. 

Biasanya, anak-anak dengan self-esteem (harga diri) yang tinggi adalah individu yang mampu menciptakan "proteksi diri" setelah perceraian kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan karena anak dengan tingkat self-esteem yang tinggi cenderung meminta dukungan dan respon positif dari orang lain di sekitarnya, sehingga mereka lebih mampu menghadapi tantangan dan pengalaman hidup yang penuh stress dibanding anak lain dengan self-esteem rendah.

Kepribadian Anak Pasca Perceraian

Kepribadian saat ini lebih sering dikaji menggunakan teori trait kepribadian Big Five yang dikembangkan oleh Costa & McCrae. Dalam teori ini dikatakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima trait dasar. Pertama, Extraversion yang mengacu pada sosiabilitas, asertivitas dan energi yang tinggi pada seseorang. 

Kedua adalah Openness to Experience yang lekat dengan kreativitas dan rasa ingin tahu, dan keinginan untuk mengeksplorasi pada seseorang. Ketiga, Conscientiousness mengindikasikan orang yang selalu teratur dan taat aturan.

Keempat adalah Agreeableness yang baik hati, memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dan mudah dipengaruhi orang lain dan kelima yaitu Neuroticism yang erat dengan kepribadian yang rapuh, mudah cemas dan mudah stress.

Anak-anak umumnya cenderung memiliki trait Agreeableness yang tinggi, karena sifat anak-anak yang memiliki rasa kasih sayang dan kooperatif yang tinggi, meskipun mereka juga mudah marah dan kurang tegas dalam bertindak (Mervielde and De Fruyt, 2002). Selain itu, trait Conscientiousness yang membentuk kontrol diri, motivasi dan keinginan untuk berprestasi juga turut berkembang di usia anak-anak (Caspi, dkk., 2005). 

Dalam kasus perceraian, anak yang masih butuh untuk meluapkan perasaan sayang kepada kedua orangtuanya tentu akan merasa bingung jika kedua orangtua mereka hidup secara terpisah, menjauh, dan mengurangi interaksi satu sama lain. Kepribadian mereka yang lembut, tulus dan naf sebagai bentuk dari dominansi trait Agreeableness tentu akan terluka. 

Selain itu, tingginya trait Conscientiousness menandakan anak masih nyaman untuk hidup dalam rutinitas dan keteraturan. Anak tentunya akan merasa tertekan jika pasca perceraian kedua orangtuanya, ia harus pindah sekolah atau menjalani kehidupan tanpa aktivitas rutin yang biasa ia lakukan dengan salah satu figur orangtuanya. 

Seperti contohnya, saat ia kehilangan sosok ibu yang biasa membacakan cerita sebelum tidur, karena ibunya memutuskan untuk pergi dari rumah setelah bercerai. 

Kehilangan rutinitas yang biasa ia lakukan dengan orangtuanya secara mendadak dapat membuat anak lebih mudah stress. Tentunya hal ini akan berdampak pada menurunnya motivasi belajar sehingga tak jarang kemampuan akademik anak merosot secara drastis pasca perceraian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun