Mohon tunggu...
Siti Amalia
Siti Amalia Mohon Tunggu... Administrasi - SMPN 17 Kota Bogor

Ketua IGI Kota Bogor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelajaran TIK di Sekolahku

10 Juni 2015   20:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika tahun ajaran 2014/2015 semua sekolah serempak menggunakan kurikulum 2013 atau yang disingkat dengan kurtilas. Sekolah saya juga begitu. Saya mengajar matematika. Saat itu sekolah kami guru matematikanya hanya 4. Saya mendapatkan 35 jam pelajaran. Sangat melelahkan. Selain itu sekolah saya 2 shift, pagi dan siang. Kelas VII belajar di siang hari sampai sore, dari pukul 12.30 sampai dengan pukul 16.30. Sedangkan kelas VIII & IX belajar di pagi hari sampai siang hari, dari pukul 07.00 sampai dengan 12.00.

Dengan menggunakan kurtilas, ada guru yang beralih tugas. Guru yang biasa mengajar TIK berubah fungsi jadi mengajar prakarya. Untuk kelas IX masih menggunakan kurikulum lama, jadi mata pelajaran TIK masih ada. Tanpa kurtilas, guru TIK di sekolah kami sudah mendapatkan banyak jam, karena cuma tersedia 1 guru saja. Jadi beliau mengajar 3 angkatan, kelas VII, VIII & IX, total 27 kelas. Pada kurtilas, pelajaran TIK kelas IX dan prakarya kelas VIII diajar oleh satu guru. Pelajaran prakarya kelas VII diajar oleh satu guru juga. Jadi total 2 guru.

Dengan prakarya, murid-murid jadi sering praktek membuat makanan dan minuman atau barang-barang daur ulang. Di sisi lain, guru-guru senang mendapatkan makanan dan minuman pemberian murid-murid hasil praktek prakarya. Guru-guru berfoto dengan makanan dan minuman hasil karya siswa dan terkadang membandingkan rasa kelompok satu dan lainnya.

Pada semester satu saya tidak terlalu mempedulikan mata pelajaran TIK yang menjadi prakarya. Karena menurut saya peralihan itu baik-baik saja dan itu adalah resiko menjadi guru. Dengan berubahnya kurikulum KTSP ke kurtilas, kita semua sebagai guru pun harus belajar memahami kurikulum baru tersebut. Pada KTSP saya juga mengajar TIK di sekolah lama dan juga pernah mengajar SBK di sekolah baru, di samping mengajar matematika. Jadi menurut saya guru harus dinamis terhadap perubahan.

Di akhir semester 1, tepatnya di bulan November 2014, sekolah saya kedatangan guru matematika baru. Guru tersebut pindahan dari sekolah swasta tapi sudah PNS. Saya bisa bernafas lega, jadi saya berkurang jam mengajarnya. Karena ada guru baru tersebut, jam mengajar saya berkurang menjadi 25 jam saja. Saya mengajar matematika untuk 5 kelas. Walau sebentar lagi semester 1 berakhir, namun guru matematika pindahan tersebut diberi tugas yang sesuai tupoksinya.

Setelah Pak Menteri pendidikan Anies Baswedan memerintahkan kembali ke kurikulum yang lama yaitu kurikulum 2006, sekolah kami juga beralih ke kurikulum 2006. Di sekolah saya ada sekolah terbuka. Mereka sekolahnya siang, barengan waktu dengan kelas VII regular. Karena saya belum sertifikasi, saya diamanahi mengajar di kelas VII regular 3 kelas, dan kelas terbuka 3 angkatan yaitu kelas VII, VIII, IX. Total jam mengajar saya 24 jam. Namun murid-murid kelas IX terbuka di semester dua sudah masuk ke kelas IX regular, jadi saya hanya mengajar kelas VII & VIII terbuka. Jam mengajar saya berkurang 4 jam. Lalu, saya diamanahi mengajar TIK kelas VII regular sebanyak 2 kelas. Di sinilah petualangan saya di mulai.

Di sekolah lama yang rangking 5 se-kota Bogor, saya pernah mengajar TIK. Sekolah lama saya terletak di pusat kota, yang masuk situ kebanyakan orang-orang berada. Ada yang tidak mampu, tapi jarang sekali. Mereka sudah familiar dengan komputer. Bahkan ada beberapa yang sudah bisa pemograman. Saya tak kesulitan mengajar mereka. bahkan menurut saya materi TIK terlalu mudah untuk ukuran siswa SMP. Itu pandangan saya di sekolah lama tentang mapel TIK.

Saya merasa pelajaran TIK di mana-mana sama mudahnya, karena saat ini teknologi sudah merambah sampai ke segmen kelas menengah ke bawah. Di mana-mana sudah menjamur warnet. Bahkan banyak siswa saya baik di sekolah lama atau baru yang maniak game online. Belum lagi yang kecanduan smartphone.

Ketika hari pertama saya mengajar di kelas TIK di sekolah baru, saya mempersiapkan handout yang berisi tulisan dan perintah-perintah yang harus mereka kerjakan di laboratorium TIK. Sehari sebelumnya saya survey ke lab TIK, mengecek kondisi computer.ternyata komputernya masih sederhana, menggunakan windows 2007.

Saya mengajar kelas VIIA, saya membagi dua kloter untuk masuk ke laboratorium TIK. Pembagian itu berdasarkan urutan absen. Di bagi dua kloter karena kondisi computer yang terbatas. Computer di laboratorium computer banyak yang error, lambat atau tak lengkap kondisinya.

Betapa terkejutnya saya ketika mengetahui sebagian besar siswa tak tahu cara mengaktifkan computer. Saya beri tahu caranya. Saya bilang kalau mengetik harus membuka Microsoft office word terlebih dahulu. Kemudian saya bagikan handout, mereka masih bengong. Ternyata mereka tak tahu kemana harus mengetik, mencari dan membuka MS word. Hampir sebagian besar siswa masih kaku dalam memegang mouse. Mengetik masih menggunakan satu tangan. Masih mencari-cari di mana huruf-huruf yang diinginkan berada. Hasil yang sama terjadi pada kloter kedua.

Yang paling mencengangkan adalah ada 1 siswa di kelas VIIA yang baru pertama kali mengoperasikan komputer. Waduh… secara tahun 2015 gitu loh dan tinggal di Kota Bogor, di mana tak jauh dari Jakarta. Saya sampai tanya bagaimana pembelajaran dan tugas-tugas ketika di SD. Siswa tersebut mengatakan bahwa pembelajaran di SD tak mengharuskan mencari di internet dan tak pernah menugaskan yang berhubungan dengan computer. Ketika ditanya apakah di sekolahnya terdapat laboratorium computer, ia berkata tak terdapat laboratorium computer.

Saya berharap ketika mengajar TIK di kelas VIIB mendapatkan hal yang lebih baik. Ternyata eh ternyata… sama saja, bahkan anak-anak yang belum pernah mengoperasikan computer ada 3 orang. Hiks…

Di sinilah saya merasa sedih. Saya jadi berpikir, yang tadinya saya cuek banget dengan demo-demo TIK, sekarang saya menjadi lebih peduli. Bagaimana siswa bisa pandai mengoperasikan computer, bila tidak difasilitasi dengan sarana yang memadai serta guru-guru yang mumpuni. Memang pada kurikulum 2013, mata pelajaran TIK diaplikasikan pada semua mata pelajaran. Hal itu tak menjadi masalah bila gurunya bisa mengaplikasikan mata pelajaran TIK pada pelajaran yang diampunya, bila gurunya tidak bisa maka siswa yang terkorbankan. Kemudian bila siswa membawa laptop masing-masing atau di sekolah tersebut terdapat laboratorium computer minimal 2 buah laboratorium komputer, maka pembelajaran menggunakan kurikulum 2013 akan berjalan lancar. Tetapi penerapan kurikulum 2013 tidak dibarengi dengan kondisi sarana prasarana yang memadai. Sehingga rasanya seperti menggapai harapan yang kosong.

Ketika tantangan (saya senang menyebutkannya dengan kata TANTANGAN daripada MASALAH) di kelas TIK terjadi di Kota Bogor (yang notabene dekat dengan Jakarta), saya jadi berpikir bagaimana pembelajaran TIK di sekolah-sekolah biasa yang ada di pedalaman atau di pulau-pulau terpencil.

Dengan kondisi siswa dan kondisi sarana prasarana yang ada, apakah mereka pada pelajaran TIK hanya ditugaskan mengisi LKS saja? Bukan kah TIK itu harus lebih banyak prakteknya?!

Dengan yang saya alami di kelas TIK, saya memberi masukan kepada para pembuat kebijakan, bila membuat suatu keputusan, diujikan dulu pada sekolah-sekolah untuk ekonomi menengah ke bawah dan yang berada di daerah terpencil. Karena Indonesia itu luas bukan hanya Jakarta saja. Ini sangat penting karena bagaimana Indonesia bisa maju bila generasi mudanya tak melek teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun