"Sweet banget, sih!" Denniz berseru keras sekali ketika mendengar Jani, tokoh protagonis cewek dalam film Radit dan Jani, mengatakan 'I love you, Bodoh!' kepada Radit.Â
Denniz menoleh sesaat kepada Mehrin seraya berkata, "Kamu bisa seromantis itu?"
"Ngaca, Denniz," timpal Mehrin sengit, "Kamu yang selama ini gak bersikap romantis. Gak pernah ngasih bunga, gak pernah mengatakan cinta." Ia tertawa lirih sambil meleletkan lidah, "Tadi kamu malas nonton film ini!"
Semula Denniz memang malas menemani Mehrin menonton film lawas yang bercerita tentang pemadat atau pemakai narkotika itu. Setelah film disetel di TV kabel, ia terpana. Lima menit pertama sudah terkesima, lima menit kedua tak berpaling sekejap pun dari layar televisi.
"Makanya kalau ada film yang aku rekomendasiin, ya, tonton saja," ujar Mehrin.Â
Denniz tertegun, tetapi matanya tetap tertuju ke layar televisi. Mehrin tersenyum. "Kalaupun kamu gak suka nonton film melankolis atau sentimentil, cukup temani gadis yang kaucintai ini. Beres, kan?"
Denniz acuh tak acuh. "Banyak hal yang bisa kaupelajari dari film ini, Bodoh," katanya ketika menyaksikan adegan Jani menahan lapar. "Nanti kalau kamu kelaparan, aku tinggal mengajak kamu bermain ABC Lima Dasar!"
Mehrin tertawa sambil memukuli lengan Denniz, "Bacot!"
Akhir Pekan Bersama Kekasih dan Film Kesukaan
Ajakan Mehrin agar Denniz mau menonton film bersamanya bukanlah ajakan unfaedah atau tidak berfaedah.Â
Menikmati akhir pekan memang tidak selalu harus ke luar kota, bertamasya ke tempat wisata, atau rekreasi sambil cuci mata di mal.Â
Menonton film kesukaan bersama orang tersayang termasuk dalam kategori "liburan minim anggaran".
Murray, dalam Hall dan Lindzey (1993), mengemukakan tentang beberapa kebutuhan psikogenik manusia. Salah satu di antaranya adalah butuh pertalian atau perhubungan (need of affiliation).Â
Mehrin ingin menyenangkan atau membahagiakan hatinya dengan cara menonton film. Pada saat bersamaan, ia mencari afeksi atau kesenangan dari objek yang ia sukai bersama orang yang ia kasihi.
Menonton film, bagi Mehrin, merupakan kebutuhan batin yang mesti ia penuhi. Sungguh banyak pelajaran berharga yang ia petik dari film yang ia tonton. Bagaimana menjalin komunikasi, cara menyelesaikan konflik, perluasan wawasan dan cara pandang atas kehidupan, dan banyak lagi.
Mengajak Denniz menonton bersama merupakan taktik halus agar kekasihnya itu mau berafiliasi dengannya pada akhir pekan tanpa harus menghambur-hamburkan uang. Selain itu, ia ingin menunjukkan kepada Denniz bahwa belajar tidak harus di bangku sekolah atau kuliah.
Bagi penyuka film, kebiasaan menonton tentu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sebuah film favorit sangat mungkin diputar berulang-ulang. Sekalipun ditonton berkali-kali tidak pernah ada rasa bosan. Apalagi jika ditonton bersama orang yang dikasihi. Lengkap sudah bahagia itu.
Sadar tidak sadar, setiap film biasanya menyisipkan pesan moral atau menyusupkan kesan moril. Pesan dan kesan itu dapat menjadi "bekal hidup" bagi penonton yang tidak menganggap film sekadar sebagai tontonan, tetapi sekaligus sebagai tuntunan.
Menggali Empati dari Sebuah Film
Dalam film Radit dan Jani terdapat banyak norma atau etika yang disampaikan secara tersirat atau terselubung. Bagaimana seseorang bisa mengalami kecanduan dan ketergantungan pada narkotika, misalnya, terentang dari adegan pembuka hingga penutup.
Penulis skenario yang merangkap sutradara, Upi Avianto, mengggambarkan dengan baik saat seseorang terjerembap ke dalam telaga busuk narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.Â
Mula-mula sekadar menikmati "perasaan bagai di surga", kemudian meresapi "nikmat yang belum pernah dirasakan", hingga berakhir pada ketergantungan dan kecanduan.
Mehrin sejatinya sedang mengajak dirinya, sekalian Denniz, untuk mengenali, mengetahui, dan memahami bagaimana sifat dan sikap seorang pecandu. Dengan demikian, ia telah memasang rambu-rambu di dalam hatinya supaya tidak terjerumus pada perilaku serupa.
Biar bagaimanapun, kecanduan sebenarnya bermula dari munculnya perasaan senang di dalam otak. Tatkala otak mengenali sesuatu yang menyenangkan dan merespons dengan mengeluarkan hormon dopamin, hormon penghasil kesenangan, maka lahirlah rasa senang, puas, dan bahagia.
Mehrin menyadari bahwa dirinya, juga Denniz, sering menerima serangan dari kerabat. Seperti petuah Murray, ia merasa butuh daya tahan (need of defendance) yang kokoh agar mampu mempertahankan diri dari kritikan atau makian orang lain.
Bukan apa-apa. Mehrin merasa tengah membangun relasi cinta di atas fondasi relasi kelas yang rapuh. Ia dari kalangan jetset, sedangkan Denniz dari golongan bangsawan. Keluarganya menakar orang lain dari tumpukan harta, keluarga Denniz menilai orang lain berdasarkan warna darah.
Sebagaimana Mehrin dan Denniz, menonton Radit dan Jani sejatinya adalah melakoni adegan menerima dan menghargai orang lain tanpa harus memandang asal, masa lalu, status sosial, dan latar histori yang ribet dan ruwet.
Menolak Ancaman Depresi dengan Cara yang Simpatik
Situasi yang dihadapi oleh Radit dan Jani sesungguhnya adalah bahaya yang kemungkinan akan dihadapi oleh Denniz dan Mehrin. Sepasang kekasih dari latar berbeda itu berpotensi menjalani cinta terlarang atau hubungan tanpa restu.
Di sekitar kita banyak orang yang mengalami kejadian serupa. Mungkin tetangga kita, mungkin teman akrab kita, mungkin malah kita sendiri. Rata-rata cinta mereka terhalang akibat dalih tidak setara menurut hitung-hitungan bebet, bibit, dan bobot.
Jani, dalam Radit dan Jani, memilih memberontak kepada keluarganya akibat pernikahannya dengan Radit tidak direstui.Â
Ia butuh agresi (need of aggression), dalam tilikan Murray, guna menghadapi tekanan keluarga, membalas perlakuan tidak adil yang dialaminya, serta melawan demi menghukum keluarga yang tidak memberkati cintanya.
Di sisi lain, Radit mengalami tekanan batin akibat perlakuan orangtua dan keluarga Jani. Persis pendapat Gerald C. Davison (2004) tentang depresi, yakni kondisi emosional yang ditandai dengan rasa sedih teramat dalam, rasa tidak berarti yang sangat menyiksa, dan rasa bersalah yang tiada terkira.
Dampaknya sangat fatal. Penderita depresi biasanya menarik diri dari pergaulan, sukar tidur nyenyak, serta kehilangan selera untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Ibarat gunung berapi yang lama menyimpan lahar, sekali meledak langsung meluap.
Mehrin dan Denniz sangat rentan diserang depresi gara-gara cinta. Latar belakang keluarga mereka berjarak sejauh langit dan bumi. Padahal, mereka tentu tidak ingin memasuki tahap depresi ala Chaplin (2002), yakni mengalami kemurungan, kesedihan, dan kepatahan semangat.
Mehrin, termasuk siapa saja yang terhalang cintanya gara-gara derajat sosial, sebenarnya tidak butuh penggerusan harkat (need of abasement) lantaran dipaksa tunduk secara pasif tehadap kekuatan dari luar diri mereka.
Kehilangan fasilitas "jodoh" dengan orang yang dikasihi pasti sulit diterima. Kadang kala malah disertai dengan perlakukan yang tidak adil, dilampiri kritik salah sasaran, atau hukuman tanpa pengadilan. Pada gilirannya akan menyalahkan, meremehkan, merendahkan, atau merusak harkat kemanusiaan.
Jika hal seperti itu terjadi maka rasa bahagia makin tak terjangkau. Lihat saja di kiri dan kanan kita. Orang yang bertahan menikmati penderitaan, kehilangan rasa iba pada diri sendiri, atau menganggap kemalangan sebagai kebahagiaan sungguh tidak sedikit.
Radit memang sulit merebut simpati mertua sebab ia sendiri sibuk mengelus-elus ego. Jani sukar menaklukkan hati ayah dan ibunya karena ia terlalu keras pada sikap dan pendiriannya. Keduanya sangat mahir melawan api dengan api.
Keduanya abai pada makna kehadiran angin bagi pepohonan. Angin sekencang apa pun tidak datang untuk menguji kekuatan batang pohon, tetapi untuk mengukur ketangguhan akar pohon itu. Itu termasuk dalam tata kelola manajemen konflik.
Dari Radit dan Jani kita dapat belajar banyak hal, termasuk cara menyelesaikan masalah.
Menyelesaikan Masalah, bukan Memecahkan Masalah
"Gila," seru Denniz ketika menyaksikan adegan Radit pamit ke toilet menjelang akhir cerita. "Kalau aku jadi Radit," katanya sambil menggeram, "lebih baik mati daripada menyerah. Kita itu butuh menguasai keadaan. Need of counteraction."
Mehrin ternganga sejenak, lalu berseru. "Wow, jarang-jarang kamu menanggapi film dengan cara seserius ini. Kamu betul, kita semua butuh menguasai keadaan."Â
Ia menarik napas pelan-pelan dan mengembuskannya kencang-kencang. "Kita juga butuh berjuang untuk memperbaiki kegagalan. Jatuh, bangkit lagi. Jatuh lagi, bangkit lagi!"
"Benar, Bodoh," tukas Denniz dengan mata berapi-api seperti orator yang tengah berpidato di depan kerumunan pengunjuk rasa, "Kita tidak boleh menjadi Radit yang takluk pada keadaan, gagal menekan rasa takut, dan gak mampu mempertahankan harga diri."
Mehrin tersenyum puas. Hatinya senang sekali. "Aku catat kata-katamu, Denniz. Akan kuingat sepanjang hidupku. Ya, masalah memang harus dihadapi dan diselesaikan."
Di mata Mehrin, Denniz menjelma menjadi lelaki yang tahu pentingnya need of exhibition, yaitu menciptakan kesan senang dilihat dan didengar. Ia merasa Denniz telah menamatkan kelas Profesor Murray: membuat hatinya terpesona, terhibur, terkejut, dan terpikat.
Amel Widya
Referensi:
- Chaplin, J. P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Hall, C. S. & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 2: Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenol ogis). Penerjemah: A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.
- Halodoc. 8 Maret 2018. Yang Terjadi pada Tubuh saat Kecanduan. Diakses pada 28 Juli 2020 pukul 15.00 WIB.
- Partodiharjo, S. 2008. Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya. Jakarta: Esensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H