Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Suatu Hari Nanti, Bodoh!

30 Juli 2020   08:46 Diperbarui: 1 Agustus 2020   20:48 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mehrin, termasuk siapa saja yang terhalang cintanya gara-gara derajat sosial, sebenarnya tidak butuh penggerusan harkat (need of abasement) lantaran dipaksa tunduk secara pasif tehadap kekuatan dari luar diri mereka.

Kehilangan fasilitas "jodoh" dengan orang yang dikasihi pasti sulit diterima. Kadang kala malah disertai dengan perlakukan yang tidak adil, dilampiri kritik salah sasaran, atau hukuman tanpa pengadilan. Pada gilirannya akan menyalahkan, meremehkan, merendahkan, atau merusak harkat kemanusiaan.

Jika hal seperti itu terjadi maka rasa bahagia makin tak terjangkau. Lihat saja di kiri dan kanan kita. Orang yang bertahan menikmati penderitaan, kehilangan rasa iba pada diri sendiri, atau menganggap kemalangan sebagai kebahagiaan sungguh tidak sedikit.

Radit memang sulit merebut simpati mertua sebab ia sendiri sibuk mengelus-elus ego. Jani sukar menaklukkan hati ayah dan ibunya karena ia terlalu keras pada sikap dan pendiriannya. Keduanya sangat mahir melawan api dengan api.

Keduanya abai pada makna kehadiran angin bagi pepohonan. Angin sekencang apa pun tidak datang untuk menguji kekuatan batang pohon, tetapi untuk mengukur ketangguhan akar pohon itu. Itu termasuk dalam tata kelola manajemen konflik.

Dari Radit dan Jani kita dapat belajar banyak hal, termasuk cara menyelesaikan masalah.

Menyelesaikan Masalah, bukan Memecahkan Masalah
"Gila," seru Denniz ketika menyaksikan adegan Radit pamit ke toilet menjelang akhir cerita. "Kalau aku jadi Radit," katanya sambil menggeram, "lebih baik mati daripada menyerah. Kita itu butuh menguasai keadaan. Need of counteraction."

Mehrin ternganga sejenak, lalu berseru. "Wow, jarang-jarang kamu menanggapi film dengan cara seserius ini. Kamu betul, kita semua butuh menguasai keadaan." 

Ia menarik napas pelan-pelan dan mengembuskannya kencang-kencang. "Kita juga butuh berjuang untuk memperbaiki kegagalan. Jatuh, bangkit lagi. Jatuh lagi, bangkit lagi!"

"Benar, Bodoh," tukas Denniz dengan mata berapi-api seperti orator yang tengah berpidato di depan kerumunan pengunjuk rasa, "Kita tidak boleh menjadi Radit yang takluk pada keadaan, gagal menekan rasa takut, dan gak mampu mempertahankan harga diri."

Mehrin tersenyum puas. Hatinya senang sekali. "Aku catat kata-katamu, Denniz. Akan kuingat sepanjang hidupku. Ya, masalah memang harus dihadapi dan diselesaikan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun