Berpijak dari jawaban Yesus di atas maka jelas bagi kita bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, setimbang, dan sebanding. Setelah terjadi pernikahan antara laki-laki dan perempuan, keberadaan mereka sama. Perempuan bukan menjadi pelayan laki-laki, sedangkan laki-laki bukan budak perempuan.
Sang Hyang Paramakawi menentukan catur varna berdasarkan guna dan karma atau sifat dan pekerjaan seseorang. Begitu yang tertera di dalam Bhagavadgita (IV.13). Artinya, baik kamu laki-laki ataupun perempuan maka varna-mu ditentukan oleh guna dan karmamu. Bukan oleh jenis kelaminmu, bukan karena derajat sosialmu.
Brahma, pencipta alam dalam ajaran Hindu, dipandang sebagai laki-laki sekaligus perempuan. Sebagian diri Brahma adalah laki-laki (purusha), sebagian lagi adalah perempuan (prakriti). Harmoni antara purusha dan prakriti itulah yang menjamin keseimbangan semesta.
Lantas kenapa perut Mehrin mual-mual mendengar isi pidato Denniz? Ia tidak mencemooh atau menghina pemikiran Denniz, sebab ia sendiri beranggapan serupa. Bahwa laki-laki dan perempuan setara. Hanya saja, pidato dan perilaku Denniz adalah dua hal berbeda. Denniz saat berpidato adalah malaikat, sementara Denniz sehari-hari adalah iblis.
Mengapa pula bibir indah Mehrin keceplosan mengatakan 'bacot'? Ia memprotes sifat dan tabiat Denniz. Itu saja. Sebagai manusia, Mehrin berhak berpendapat.
Perempuan Hari Ini
Apa yang menimpa perempuan hari ini? Timpang. Di wilayah domestik bernama rumah saja sudah terjadi hal yang tidak beres. Perempuan selalu diminta untuk pintar-pintar menjaga diri agar tidak terkena pelecehan seksual. Pakaian pun jadi kambing hitam saat perempuan tertimpa pelecehan seksual.
Pada sisi lain, tidak semua keluarga mengajarkan bagaimana semestinya laki-laki memperlakukan perempuan. Andai semua laki-laki menghargai perempuan sama seperti ia menghargai ibunya, tidak akan ada laki-laki yang melakukan kekerasan seksual (sexual abuse), serangan seksual (sexual assault), dan pelecehan seksual (sexual harassment).
Itu terlalu luas. Dalam skala sempit saja, misalnya, relasi timpang antara Denniz dan Mehrin. Denniz mencintai Mehrin, tetapi cintanya kepada Mehrin dipenuhi oleh batasan-batasan dan kekangan-kekangan. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Anehnya, Denniz mengamuk jika Mehrin berusaha membatasi ruang geraknya. Kan bangsat!
Warisan konsep patriarki memang sudah begitu mendarah daging. Segala urusan selalu dari, oleh, dan untuk laki-laki. Tidak heran kalau banyak laki-laki yang menganggap perempuan sebagai tukang cuci piring, juru masak gratis, bahkan budak pemicu berahi. Dalam istilah yang lebih "halus" kita kenal wilayah dapur, sumur, dan kasur.Â
Laki-laki yang bertabiat seperti Denniz itu tidak sedikit. Dari luar terlihat penyayang pada perempuan, padahal kenyataannya penindas perempuan. Kalau sudah berbicara tentang kesetaraan bagai gading yang tidak ada retaknya, padahal sehari-hari seperti daging yang busuk di mana-mana.Â
Singkatnya, ngomong jago praktik nol besar!