Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Feminitas di Mata Semesta

13 Juli 2020   18:19 Diperbarui: 15 Juli 2020   05:50 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mehrin terkesima. Di podium, Denniz berpidato dengan suara menggelegar. Ia begitu karismatik. Teduh matanya. Kulum senyumnya. Air mukanya. Alun suaranya. Ia seorang pembicara tulen yang sukar ditemukan aib celanya. Seolah-olah kata demi kata yang mengalir dari bibir Denniz adalah teks sebuah artikel berisi tanpa salah tik satu huruf pun.

Sudah hampir dua jam berpidato, tetapi Denniz sedikit pun tidak terlihat letih. Laki-laki tidak boleh merasa lebih baik, lebih kuat, atau lebih unggul daripada perempuan. Laki-laki harus tahu bahwa mereka dan perempuan setara di hadapan Tuhan dan alam semesta. Tepuk tangan membahana.

Mehrin mengelus-elus punggung tangannya untuk menenangkan diri. Mendadak perutnya terasa mual. Perempuan harus memperoleh hak yang sama dengan laki-laki. Hak atas pendidikan, hak atas politik, hak atas pekerjaan. Selama kita masih berteriak, 'buat apa perempuan sekolah tinggi, toh akhirnya di dapur juga', berarti kita belum memiliki kesadaran atas kesetaraan. Tepuk tangan kembali membahana. Perut Mehrin mual lagi.

Hingga Denniz selesai berpidato, pikiran Mehrin mengembara ke mana-mana. Andaikan Denniz tidak memelas minta ditemani, ia sama sekali tidak berniat untuk berada di balairung megah ini demi mendengarkan bualan Denniz. 

Ia sadar, lelaki keturunan bangsawan itu hanya ingin menjadikannya boneka pajangan. Denniz ingin terlihat sebagai lelaki yang menghargai dan mengakui hak-hak perempuan.

Mehrin bahkan tidak berkata apa-apa ketika Denniz menggandeng tangannya sewaktu berjalan ke lobi. Tatkala Denniz membukakan pintu mobil untuknya, sesuatu yang mustahil dilakukan olehnya selagi mereka hanya berdua, Denniz berbisik. "Bagaimana pidatoku tadi?"

Mehrin mendongak, "Alah, bacot!"

Perempuan di Mata Semesta

Apa yang disampaikan oleh Denniz bukanlah sesuatu yang baru. Ratusan tahun lalu, bahkan ribuan tahun lalu, laki-laki dan perempuan sudah diposisikan setara. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah.

Dalam Quran Surat At-Takwir 8--9 ditegaskan tentang bagaimana Islam memuliakan perempuan yang pada masa sebelumnya dipandang rendah dan hina. Pada satu keluarga pra-Islam, perempuan tidak berhak menerima warisan. Jangankan menerima warisan, perempuan malah dapat dipindahtangankan sebagai warisan.

Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama berasal dari tanah. Sama-sama berhak hidup, sama-sama berhak menyembah Tuhan. Yang membedakan laki-laki dan perempuan bukanlah pangkat atau harta, melainkan kualitas iman mereka. Dengan demikian, laki-laki tidak perlu merasa lebih mulia daripada perempuan.

Inilah jawaban Yesus ketika dimintai pendapat tentang relasi antara perempuan dan laki-laki, "Ketika seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya, kemudian keduanya menjadi satu 'daging', mereka bukan lagi dua melainkan satu. Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun