Secinta apa pun, bukan berarti Denniz berwenang mengatur-atur hidup Mehrin. Sesayang apa pun, bukan berarti Denniz berhak memarah-marahi Mehrin di depan banyak orang.
Acara makan malam mewah berakhir tragis. Table manner pun ambyar. Hanya gara-gara Mehrin memperbaiki riasan wajah, Denniz bagai kerasukan iblis. Padahal, naluri mematut diri bagi seorang gadis adalah hal yang wajar.Â
Kalaupun dianggap tidak etis, Denniz bisa menegur Mehrin secara baik-baik. Tidak perlu ngegas. Tidak usah marah-marah.
Kisah makan malam mewah yang gagal, seperti yang dialami Mehrin, hanyalah salah satu sekian banyak dampak kegagalan individu dalam mengontrol emosi. Andai saja Denniz mahir menata perasaan, makanan mahal pasti sudah memenuhi usus besarnya. Ini tidak. Hal kecil dibesar-besarkan, masalah besar malah disepelekan.
Sekilas tentang Tata Kelola Rasa Kesal
Semua orang memiliki rasa marah. Itu lumrah. Sangat manusiawi. Akan tetapi, tidak semua orang dapat mengendalikan diri ketika berada di puncak amarahnya.
Kadang rasa marah menguasai diri kita gara-gara hal yang sepele, lalu membludak, dan kita seketika gelap mata sehingga rasa marah itu kita tumpahkan sesuka hati.
Marah besar. Siapa pun yang tidak mahir mengendalikan amarah pasti gampang marah besar. Di luar sana, di sekitar kita, banyak orang yang berkarakter seperti Denniz. Mereka mudah lupa diri ketika hati mereka dikuasai amarah.
Sebaliknya, tidak banyak orang yang bisa setenang Mehrin dalam mengelola perasaan. Ia bisa saja berdiri sambil memaki-maki Denniz, tetapi ia memilih kalem dan menegur Denniz dengan nada suara yang pelan. Itu keterampilan batin yang luar biasa.
Mehrin memiliki kecerdasan emosional. Ia tangguh menghadapi kegagalan, tahan menjalani kesedihan, terampil mengendalikan kemarahan, dan mahir menempatkan emosi dengan porsi yang tepat.Â
Bisa saja ia berdiri, mengejar Denniz, dan menahan agar kekasihnya itu tidak pergi. Ia memilih duduk dan bersikap seakan-akan tidak mengalami kejadian memalukan.
Setiap individu perlu memiliki kecerdasan emosional. Bukan hanya Mehrin. Dalilnya ringan. Kondisi emosional dapat memengaruhi pikiran, perkataan, dan perilaku kita.Â
Prasangka buruk dalam pikiran bisa merusak fondasi kepercayaan. Jika berlebihan, fondasi kepercayaan kita pada sesama rawan terkena longsor dan gempa.