Mehrin tersenyum menatap Denniz. Lelaki kesayangannya, keturunan ketujuh dari satu kerajaan besar pada masa lalu, sedang duduk tegak di depannya. Tubuh lelaki tegap itu tampak gagah dibalut tuksedo hitam pekat.
Ia menunduk. Di atas meja sudah tertata rapi macam-macam sendok, garpu, pisau, dan piring. Aneka rupa gelas pun diletakkan begitu hati-hati. Table manner. Ia senang akhirnya bisa mentraktir Denniz makan malam di restoran mewah. Restoran ala Carte.
Adalah Ratu Prancis Catherine de' Medici, pada abad ke-15, yang mulai menggagas upaya agar masyarakat Paris memiliki etiket makan yang baik. Mehrin tahu sejarah itu saat mengikuti kursus singkat etiket makan malam. Ia juga mempelajari kurikulum khusus tentang table manner.
Ia ingat dua hal pokok yang telah ia pelajari. Saat duduk, tegakkan tubuh dan jangan membungkuk, apalagi bersandar diri ke kursi. Saat kedua tangan memegang peralatan makan, kedua siku tidak boleh menyentuh atas meja. Posisi siku tangan harus mengambang, tetapi tidak terlalu tinggi. Ia ingat semua.
Pesanan makanan dan minuman akan diantarkan secara berurutan. Mula-mula hidangan pembuka, lalu hidangan utama, hingga hidangan penutup.Â
Pramusaji menata hidangan pembuka di atas meja. Pelan, cekatan, dan hasilnya rapi. Mehrin membuka tas dan mengambil cermin. Ia pulas bibirnya dengan lipstik.
Denniz mendadak berdiri dan berseru, "Jangan bikin malu, Mehrin. Kita sedang fancy dinner. Kamu lagi di table manner. Tahu etiket, dong!"
Mehrin terkesiap. Ia merasa pandangan semua orang tertuju kepadanya. Pipinya panas. Matanya panas. "Pelankan suaramu, Denniz. Duduklah!"
Denniz menggeram. "Norak kamu, Mehrin. Kamu mampu membeli apa saja karena uangmu banyak, tetapi jangan harap kamu bisa membeli derajat!"
Denniz pergi begitu saja.
Marah-marah di Depan Banyak Orang
Denniz merasa derajat sosialnya tinggi sehingga ia mengira sah-sah saja kalau Mehrin harus selalu menuruti keinginannya. Masalahnya, Denniz tidak peka membaca suasana.Â