Celakanya, ada orang di antara kita yang mati hati dan hilang empati sehingga menganggap fisik sebagai bahan candaan. Lebih parah lagi, body shaming kerap dilakukan justru oleh orang terdekat. Bisa teman akrab, bisa keluarga dekat.
Mereka yang menjadikan bentuk, ukuran, atau tampilan fisik sebagai olok-olokan sejatinya tidak lebih dari, bahasa halusnya, manusia yang berhati batu. Dalam bahasa yang agak kasar, saya menyebutnya sebagai "sampah yang diberi nyawa".
Mengapa? Karena mereka tidak menyadari bahwa body shaming bisa berakibat fatal. Mula-mula rendah diri, lalu membenci diri sendiri, lantas berakhir dengan bunuh diri. Contohnya sudah banyak terjadi. Brendy Vela hanyalah salah satu contoh kasus.
Ilustrasi pada pembuka artikel ini merupakan contoh konkret bagaimana orang terdekat kita sering kali melakukan body shaming tanpa sedikit pun rasa bersalah. Seolah-olah kata-kata hinaan itu tidak meninggalkan bekas apa-apa di hati orang yang dihina.
Tidak seremeh itu. Mehrin sadar bahwa tubuh rampingnya semasa remaja sudah berganti badan gemuk dengan lemak di mana-mana. Bodi gitar Spanyol yang dulu ia punya kini sudah bertukar tempat dengan gambus Persia.
Di luar itu, bukan hanya orang gemuk yang kerap menjadi sansak body shaming. Gadis kurus atau jejaka cungkring juga menderita hal serupa. Kadang disebut kutilang darat atau "kurus tinggi langsing dada rata", kadang disebut "tiang listrik tanpa bentuk".
Kenapa orang yang kita cintai atau orang terdekat merasa lebih enteng menghina fisik orang yang, barangkali, sebenarnya ia sayangi? Alasannya, sebab mereka merasa ada kedekatan emosional dengan korban.Â
Mereka menganggap bahwa korban tidak akan tersinggung walau dihina separah apa pun, padahal tidak ada yang tahu dengan pasti isi hati orang lain.
Denniz tidak pernah tahu seberapa sakit hati Mehrin. Pasanganmu tidak tahu seberapa perih hatimu setelah kamu kalau diminta berdiet agar berat badanmu turun. Temanmu tidak tahu seberapa pedih hatimu jika kamu disuruh berolahraga agar tubuhmu tidak membengkak.
Sekarang mari kita coba berintrospeksi. Apakah selama ini kita, sadar atau tidak, mengejek fisik orang terdekat kita? Apakah selama ini kita, sengaja atau tidak, menegur wajah saudara kandung kita yang mulai ditotoli jerawat? Apakah selama ini kita, sering atau jarang, menyuruh pasangan kita "suntik putih" agar kulitnya tidak mirip "malam tanpa bulan"?