Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Serenita Tasbih dan Rosario

20 April 2020   19:19 Diperbarui: 20 April 2020   19:31 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, 19 Agustus 2019, pukul 05.49 yang dingin.

Selamat pagi, Sayang. Seluruh doa kebaikan dan kebahagiaan selalu tercurah untukmu. Untuk kita.  

Pagi ini aku terkejut sekaligus bahagia mendapat kiriman surat darimu. Entah kenapa setelah membaca surat yang kamu kirim semalam, sesak memenuhi rongga dadaku. Sepagi ini otakku riuh dengan dan karena isi suratmu. Aku makin rindu kepadamu.
 
"Sebegininya aku kepadamu"

Salah satu dari sekian banyak kalimat yang kamu susun dalam surat, kalimat itulah yang paling memengaruhi perasaanku. Padahal, kedekatan kita belum genap sebulan.

27 Juli 2019. Itulah awal mula kurobohkan jarak yang membentang di antara kita. Aku meminta izin untuk videocall denganmu. Gayung bersambut. Kamu menyambut dan menerimaku dengan ramah. Kita mulai bercengkerama, walau kadang hanya saling pandang, dan mengobrol ngalor-ngidul dari obrolan yang santai hingga yang serius.  

Setelah kejadian itu, aku makin yakin bahwa aku memang membutuhkan kamu. Aku mulai benar-benar menginginkan kamu. Aku mulai menaruh harapan agar kamu, dengan segenap ketulusan hatimu, sudi menemani hari-hariku.

Tetapi seperti yang pernah aku katakan, aku selalu memastikan perasaanku yang aneh ini. Kamu ingat? Aku pernah bercerita kepadamu kenapa selama dua bulan, April--Juni, aku lebih banyak diam, benar-benar diam, dan menghilang dari kamu?

Ya, karena aku sedang memastikan ketertarikan perasaanku kepadamu yang rasanya terlalu cepat. Anehnya, aku malah menaruh harapan saat pertemuan kedua kita berlangsung. Dan aku takut, ya, aku takut tidak bisa menahan laju perasaanku.

Lalu aku mulai memperhatikan gerak-gerikmu di media sosial. Aku selalu ingin tahu apa yang kamu lakukan dan mengapa kamu melakukannya. Aku, dalam rasa sakit dan kesedihan yang aku alami, mulai menyelipkan namamu ke dalam doa-doaku. Hingga pada akhirnya aku melihat beberapa tempo lalu lewat unggahanmu di whatsapp, kamu sedang menarik aku dari kesedihan dan kekecewaan yang panjang.

Aku berterima kasih, tetapi lagi-lagi aku menahan perasaanku. Aku tidak mungkin merusak kedekatan kita sebagai teman hanya demi perasaanku. Dan yang membuatku selalu berpikir, terus-menerus berpikir, karena keyakinan kita berbeda. Juga kondisi status sosialku.

Sekarang, aku dan kamu menjadi kita. Kita yang tiap hari makin dekat. Kita yang semoga selalu saling memahami. Kita yang semoga selalu saling membahagiakan. Kita yang semoga selalu saling mengisi. Kita yang semoga selalu saling menghargai. Kita yang semoga selalu saling memberi maaf atas kekecewaan, sekecil apa pun, yang akan atau sudah terjadi di antara kita.

Apakah "semoga-semoga" yang kuinginkan terlampau jauh, bahkan sangat jauh, sehingga sulit kugapai? Aku berharap tidak ada. Kalaupun ada, aku tidak ingin berharap banyak. Biarlah takdir yang menentukan perjalanan kita.
 
"Iya, sebegininya aku kepadamu"

Kalimat itu kembali muncul di antara susunan kalimatmu. Satu-satunya kalimat yang begitu menyita perhatian dan perasaanku. Seakan-akan kalimat tersebut menjadi tiang kokoh penyokong isi suratmu. Aku gila. Aku sedih sekaligus kagum membaca kalimat itu.

Tidak dapat kumungkiri, ada kegelisahan yang diam-diam memangku segala harapanku. Benarkah yang kamu tulis berasal dari lubuk hatimu? Secepat itukah hatimu menjatuhkan perasaan kepadaku? Wajarkah jika kalimat itu muncul dalam hubungan yang belum genap sebulan? Gombal atau bohong macam apa lagi yang harus aku terima dari lelaki? 

Kamu tahu, ternyata rasa sakit, sedih, dan kecewa yang kualami telah menjadikan aku sebagai pribadi yang sangat insecure. Merasa sangat tidak nyaman pada diri sendiri. Kepribadian dan cara berpikirku ambrol. Perlahan-lahan, dari hari ke hari, aku menjadi perempuan yang benar-benar kehilangan rasa percaya diri.

Aku merasa menjadi perempuan paling buruk, bodoh, dan menyedihkan. Aku takut pada sesuatu yang sebenarnya belum tentu terjadi. Setiap hari aku merasa makin kehilangan jati diri. Aku jatuh terlalu dalam pada lubang kekecewaan dan kesedihan. Obat yang aku tenggak lima bulan belakangan ini ternyata belum menghasilkan perubahan besar pada kepribadianku.

Sialnya, aku selalu memaksa diri agar tampil dalam keadaan baik-baik saja di depan banyak orang. Aku juga sering membayangkan andai saja aku tidak pernah memintamu untuk menemani hari-hariku. Barangkali sistem saraf pusat dalam otakku sudah lupa cara bekerja yang semestinya. Tetapi perlu kamu tahu, aku tidak memanfaatkan waktumu hanya untuk membantuku agar pulih seperti semula. Aku tidak seperti itu. Semoga kamu tahu.

Aku berharap mudah-mudahan kamu selalu bersedia menerima aku dengan dan dalam keadaan seperti ini. Andai suatu ketika kamu jenuh menemaniku, pergi saja. Pergi saja, asalkan kamu pergi setelah pamit. Tidak menghilang begitu saja. Tidak meninggalkan tanda tanya tentang mengapa kamu pergi sehingga aku bisa melepasmu dengan penuh keikhlasan.
 
Dear Danish Farshad, 

Sekarang sudah pukul 08.55 dan aku belum beranjak dari tempat tidur. Pesanmu di whatsapp belum sempat kubaca. Kamu tahu, kehadiranmu membuatku merasa nyaman. Aku mulai resah jika tidak mendapat kabar darimu atau melihat dirimu walau sekadar lewat videocall.

Aku mulai rindu. Aku mulai merasakan candu pada lembut usapanmu di kepalaku sebelum aku terlelap. Aku mulai cengeng karena kamu, tetapi juga mulai kuat karena kamu. Sudah dua minggu ini aku mengkhawatirkan kesehatanmu: Jam tidurmu yang berantakan dan jam makanmu yang sering telat. Ternyata kehadiranmu sudah mengisi labirin di hatiku. Aku mulai menginginkan kamu agar lebih lama bersamaku.

Di sisi lain, aku tahu diri. Aku merasa tidak pantas mengkhawatirkan keadaanmu, walau sekadar dalam obrolan panjangku dengan Tuhan. Aku merasa tidak pantas meminta agar Ia mengabulkan doaku, doa yang isinya selalu sama: Supaya aku bisa terus bersamamu.

Aku tahu batasan-batasan yang harus aku lalui. Perbedaan seperti pisau bedah yang mengancam kedekatan kita: statusku sebagai janda gantung karena suami yang kawin lagi dan agama kita yang berbeda. Tetapi perasaanku kepadamu makin menjalar, sekalipun aku tahu bahwa ujung perjalanan kisah kita akan seperti apa: Penuh luka.

Barangkali ada skenario kedua yang diberikan Tuhan kepadaku. Skenario untuk membentuk diriku agar makin kuat menjalani kehidupan dan mengikhlaskan segala yang telah ditentukan oleh-Nya.

Sebenarnya Tuhanku dan Tuhanmu Maharomantis. Ia melimpahi kita dengan anugerah cinta. Ia memaklumi perasaan kita. Akan tetapi, bagaimana dengan orang lain di sekitar kita? Bukankah masih banyak di antara kita yang tidak bisa menerima penyatuan hati antaragama? Apakah mereka akan tetap tersenyum melihat kita bergenggaman sekalipun mereka tahu agama kita berbeda? Tidak mungkin!

Jika kamu merasa bahwa aku terlalu banyak berharap, maafkanlah. Jika kamu merasa bahwa harapan agar kamu sudi menemaniku terlalu membebanimu, maafkanlah. Jika kamu merasa bahwa masa laluku terlalu memberatimu, maafkanlah. Jika kamu mendapati diriku tidak seperti yang kamu inginkan, maafkanlah.

Aku pasti banyak kelemahan dan kekurangan. Apa pun itu, mari kita bicarakan baik-baik. Kelak juga begitu. Tiap-tiap masalah muncul, baik besar maupun kecil, mari kita bicarakan baik-baik. Mari kita tumbuh bersama. Mari kita rayakan pahit getir bersama. Bahkan seandainya kamu mengira berpisah denganku adalah jalan terlapang, mari kita bicarakan baik-baik.

Seandainya nanti kautemukan perempuan selain aku yang mampu memikat hatimu, silakan pergi. Bahkan seandainya dalam kepergianmu ternyata kamu dilukai, kembalilah. Lenganku selalu menyediakan pelukan untukmu. Aku selalu ada untukmu.

Tetapi jika Tuhan menghendaki skenario berbeda, ternyata kamu dan aku masing-masing menemukan seseorang yang tepat, biarkan kukenang kamu sebagai lelaki tangguh yang rela terluka demi kebahagiaan perempuannya. Sementara kamu, kenanglah aku sebagai perempuan yang pernah kauperjuangkan dengan penuh air mata.

Terima kasih atas waktu, pikiran, dan tubuhmu yang selalu menguatkanku. Semoga segera kutemukan kembali diriku agar aku tiba di pelukanmu secara utuh. Bukan aku yang sekarang dengan segala beban masa laluku.

Dari perempuan yang menyayangimu,

Alzena Mehrin
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun