Mestinya UU Sisdiknas ini jadi payung hukum sistem pendidikan kita. Jika UU tersebut diterapkan secara sungguh-sungguh, UN tidak boleh diberlakukan. Kenapa? Mari kita sibak alasannya.
Pertama, UU Sisdiknas menegaskan bahwa kompetensi kelulusan meliputi aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).Â
Faktanya, UN hanya mengukur aspek kognitif sebagai syarat kelulusan. Itu pun masih belong-betong atau sarat kekurangan di sana-sini.
Sekadar contoh, UN menggunakan pilihan ganda (multiple choice) sebagai model tes. Pilihan ganda punya banyak kekurangan untuk digunakan dalam mengukur kemampuan murid. Bagaimana mungkin kita sandarkan mutu pendidikan pada "tembok evaluasi" serapuh itu?
Jawaban pilihan ganda bisa karena memang siswa mampu menjawabnya, bisa karena tebak pilih, bahkan bisa karena untung-untungan. Siswa yang tidak belajar sekalipun bisa menjawab pilihan ganda apabila penulis soal kurang cermat.
Kedua, Pasal 29 ayat 2 UU Sisdiknas menjabarkan bahwa "pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran...".Â
Faktanya, UN merampas hak guru dalam menilai hasil pembelajaran. Tanpa sadar, pemerintah "memperdayakan" alih-alih "memberdayakan" guru.
Ketiga, Pasal 57 ayat 2 menguraikan bahwa "mutu pendidikan dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan". Faktanya, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik sementara hasilnya menjadi acuan mutu pendidikan.
Tiga butir alasan tersebut merupakan bukti betapa UN berbenturan dengan UU Sisdiknas.Â
Mengapa UN dipertahankan? Inilah yang menggelisahkan batin para pengamat pendidikan. Sekarang kita tilik ulang kembali tujuan penyelenggaraan UN.
Syarat kelulusan siswa. Itulah tujuan utama penyelenggaraan UN. Dalam Pasal 72 ayat 1 butir d Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa "peserta didik dinyatakan lulus pada pendidikan dasar dan menengah setelah lulus ujian nasional".