Pendidikan, di mata mantan Ketua Umum Muhammadiyah tersebut, urusan pelik  yang tidak dapat disamakan dengan mengurus Go-jek.
Kedua tokoh nasional tersebut jelas tidak salah. Bagaimanapun, harus ada standar yang berlaku secara nasional untuk mengukur mutu pendidikan. Dengan kata lain, Pak Menteri boleh menghapus UN asalkan beliau mampu menghadirkan kebijakan pengganti yang lebih berbobot.
Apakah mutu pendidikan ambrol kalau UN dihapus?Â
Belum tentu. Supaya kita tidak terkungkung dalam tempurung buruk sangka, mari kita sisir. Ternyata ada negara yang tidak menggunakan UN, tetapi mutu pendidikan mereka tetap terjaga.
Finlandia. Negara di Eropa Utara ini kerap diakui sebagai negara dengan mutu pendidikan terbaik di dunia. Sistem pendidikannya diadopsi banyak negara.Â
Di sana, siswa lebih banyak belajar sambil bermain dibanding belajar klasikal di kelas. Pekerjaan rumah juga sedikit, karena siswa sibuk dengan tugas mengembangkan kecakapan diri dan kemampuan bernalar.
Jerman. Negara yang sering didaulat sebagai negara dengan ekonomi terkuat di Eropa itu juga tidak menggunakan UN sebagai syarat kelulusan siswa. Pemerintah Jerman lebih memilih menyediakan fasilitas belajar bagi siswa daripada menghabiskan banyak anggaran untuk membiayai UN.
Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Di tiga negara tersebut, siswa tidak perlu frustrasi karena takut gagal UN, sebab tidak ada Ujian Nasional. Ujian periodik diberlakukan untuk hal-hal tertentu, seperti ujian masuk perguruan tinggi.
Semoga lima negara pembanding itu bisa menguak cakrawala berpikir kita. Setidaknya, menjauh dari paradigma saklek bahwa UN adalah satu-satunya cara untuk mengukur mutu pendidikan.
Lantas, mengapa UN selalu memicu kontroversi? Ini pertanyaan menarik.
Kita mundur sejenak ketika UN mulai diberlakukan, yakni pada 2005. Dua tahun sebelumnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterapkan.