Sebagai unsur terkecil dalam sebuah negara, keluarga juga berperan dalam penguatan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Sekadar contoh, sebuah keluarga yang merasa belum sanggup mengambil kredit seyogianya tidak perlu memaksakan diri.
Kehadiran sebuah mobil, misalnya, menjadi parasit selama lebih condong pada memenuhi keinginan daripada kebutuhan. Tatkala cicilan macet, usaha juga mangkrak, bisa-bisa memengaruhi stabilitas ekonomi. Bayangkan saja. Andaikan ada jutaan kredit mobil atau kendaraan bermotor yang macet di tengah jalan.
Terkait gengsi, tidak sedikit pula keluarga yang menguras tabungan demi memenuhi hajat konsumtif yang tidak perlu. Badai keuangan dapat melindas rumah tangga seperti itu, rumah tangga yang isinya disesaki insan-insan pemuja benda duniawi.
Beda perkara jika kebutuhan yang "menguras celengan di bank" adalah kebutuhan yang sukar dielakkan. Sekadar contoh, pembiayaan pendidikan. Hampir setiap suku di Indonesia punya kearifan lokal terkait dana sekolah, sesuatu yang sebenarnya mirip dengan asuransi. Ada yang mengasuransikan biaya pendidikan anak-anaknya lewat emas, ada yang melalui ternak. Ini perumpamaan saja.
Andaikan seluruh keluarga di Indonesia mempunyai kemampuan literasi finansial, termasuk dalam menilik "seberapa imbang pasak dengan tiang", tentu pendapatan per kapita akan terkatrol. Pada gilirannya, pendapatan per kapita yang tinggi akan memengaruhi pendapatan negara.Â
Singkat kata, kemampuan menangkal serangan badai finansial harus bermula dari keluarga. Jika keuangan seluruh keluarga di Indonesia sehat, alamat sehat pula keuangan negara kita.
Apabila kondisi ideal itu tercapai, tiada salah jika kita berteriak: Bravo!
Amel Widya
Sumber:
- Bank Indonesia. Mengupas Kebijakan Makroprudensial.
- Bank Indonesia. Maret 2019. Kajian Stabilitas Keuangan.
- Stephen Lendman. The Financial Storm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H