Sejak itulah Max merasa kesepian. Sejak itu pula Max berkenalan dengan teman barunya, Narkoba.
Angan Gagah berhenti berkelana tepat ketika ia mengakhiri makan malamnya. Ia dan ayahnya pindah ke ruang keluarga. Ayahnya duduk di sofa kuning pastel menghadap ke telivisi yang tengah memajang berita tentang politisi yang tertangkap tangan sedang pesta narkoba di sebuah kamar hotel. Ia duduk di meja belajar dan membuka laptop.Â
Ketika hendak berselancar di media sosial, ayahnya menanyakan apakah ia mengenal Koy, anak Pak Ak, yang sakaw di rumahnya, sekarang menjalani rehabilitasi medis. Ia mengangguk seraya berjalan ke sofa dan duduk di sisi ayahnya.
Kata ayahnya, sekarang Pak Ak sibuk mencari cara untuk berkelit dari jeratan hukum. Pak Ak terancam pidana penjara karena tidak melaporkan anaknya yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Anak direhabilitasi, orangtua terancam dibui. Sudah jatuh tertimpa tangga.Â
Ia ingat. Dulu Koy termasuk anak yang penurut. Meski sering dimarahi oleh ibunya dan dipukuli oleh ayahnya, ia tidak pernah melawan. Siksaan fisik itu rupanya memacu derita batin. Koy akhirnya melarikan diri ke dekapan narkotika.
Lagi-lagi Gagah merasa beruntung karena ia berada di tengah keluarga yang penuh cinta.
Sebelum tidur, pikiran Gagah melayap ke mana-mana. Max dan komplotannya digelandang ke kantor polisi. Rupanya mereka sudah lama diintai oleh BNN dan Polri. Mereka digerebek di rumah Max ketika tengah berpesta sabu-sabu.Â
Beritanya berhamburan di televisi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orangtua Rus jikalau mengetahui anaknya terjerumus ke "lubang hitam". Beliau pasti sedih.
Tuhan, terima kasih telah menguatkan hatiku sehingga berani mengatakan "tidak pada narkoba".Â
Doa yang ia rapal sepenuh hati itu laksana air sejuk yang seketika menyejukkan batinnya. Andai ia hilang nyali dan menyetujui ajakan Max, barangkali sekarang ia sudah berada di penjara dan kehilangan cinta kasih keluarganya.