Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sonia, Darah, dan Mata Marahnya

15 Mei 2019   01:00 Diperbarui: 15 Mei 2019   13:33 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pngdownload.id

/1/

Aku ingat pesan Ibu. Kata Ibu, telan saja jika ada orang yang menghinamu. Kadang hati kecilku berontak, tetapi pesan Ibu sungguh menenangkan hati. Pagi ini juga begitu. Kelas X-1 masih sepi. Baru beberapa siswa yang datang. Tiga pasang mata perempuan menatapku sangat tajam sampai pantatku merasa panas.

Kemarin, ketiga teman sekelasku itu berulah. Ketika praktik bola voli, mereka sengaja menabrak dan meludahiku. Sepulang sekolah, mereka menggunting bagian bawah rokku hingga paha mulusku jadi santapan murid lelaki. Aku merasa terhina, tetapi aku diam saja.

Kini ketiganya berjalan pelan ke arahku. Mata mereka seperti tiga pasang cakar elang yang siap mencabik-cabik kulitku. Sonia, perempuan paling ditakuti di kelasku, berkacak pinggang di depanku. Tidak berkata apa-apa, tetapi sinar matanya begitu mengancam. Dua pengawalnya, Tania dan Dini, berdiri di sampingnya.

Tasku kini terangkat ke udara, menghadap ke bawah dengan resleting menganga, dan isinya tumpah berserakan di lantai. Sonia terkekeh-kekeh. Gema tawanya memecah keheningan dan mengguncang perutku.

Ia jambak rambutku sambil mendesis, "Bilang ke nyokap lo, cari uang yang halal. Jangan jadi simpanan!"

/2/

Namaku Mehrin. Aku anak tunggal dari seorang ibu yang dicap istri simpanan lelaki tua kaya raya. Tetapi, aku mencintai ibuku. Aku selalu ingat pesan Ibu. Kata Ibu setiap kuceritakan perlakuan Sonia dan gengnya, telan saja sakit hatimu jika ada orang yang menghinamu. 

Pagi ini hatiku menuntut agar aku melawan, memberontak, dan membalas perlakuan Sonia. Tetapi, lagi-lagi pesan Ibu menenangkan hatiku. Toilet perempuan sedang sepi ketika aku membasuh wajah di wastafel.

Tiga tubuh tinggi semampai berdiri di mulut pintu. Mata mereka menatapku amat lekat seakan hendak menelanjangi tubuhku. Ketiganya berjalan pelan ke dalam toilet. Tania menutup pintu, Dini menguncinya. Aku merasa bulu tengkukku meremang.

Sonia kini berdiri di sampingku, menjilat tubuhku dari atas ke bawah dengan sepasang mata elangnya. Sambil meringis ia merogoh saku roknya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Dengan tenang ia sulut sebatang, mengisapnya dalam-dalam, dan mengembuskan asapnya ke wajahku. Rokok yang terselip di jemarinya kini ia jentikkan ke wajahku dan kupingku mendadak dijadikan asbak olehnya. Sangit kulit kupingku tersulut rokok.

Sonia tertawa sinis saat menerima gunting dari Tania. Aku tidak tahu bagaimana bisa Tania membawa gunting ke toilet. Aku tidak sempat berpikir lagi karena Sonia menggeram. Matanya seperti mata nenekku sesaat sebelum wafat. Dingin.

Ia terkekeh-kekeh. Gema tawanya mengguncang seluruh penjuru toilet dan membetot jantungku hingga copot dan mencelus di lantai lembap. 

Ia jambak rambutku sambil mendesis, "Lo enggak layak ada di sekolah ini, Anak Haram!"

Telapak tanganku gatal dan panas. Dalam keadaan gugup dan tertekan, telapak tanganku selalu begini. Buru-buru kurogol sarung tangan plastik di saku rokku agar tidak terpapar alergi. Aku sanggup menahan derita disiksa Sonia, tetapi aku selalu kewalahan menahan serangan alergi.

Kurasakan sepasang tangan mendorong leherku hingga aku merunduk. Sepasang tangan lagi memegangi pundakku. Bagian belakang rokku terbelah. Belum habis rasa kecut di hatiku, rambut panjangku kini berserakan di lantai. Suaraku tercekat di kerongkongan. Menjerit pun tak kuasa kulakukan. Kurasakan gunting di tangan Sonia mencacah bajuku. 

Dan, mataku gelap.

/3/

Namaku Mehrin. Aku anak tunggal dari seorang ibu yang dicap istri simpanan lelaki tua kaya raya oleh teman sekelasku. Tetapi, aku tetap mencintai ibuku lebih daripada cintaku kepada diriku sendiri. Aku selalu ingat pesan Ibu, tetapi tadi di toilet sengaja kulupakan pesan itu. Ternyata hatiku merasa lebih senang dan tenang. Ini kali pertama kulawan pesan Ibu.

Setelah setengah jam duduk di kelas, sekolah geger. Toilet di samping kelasku mendadak dikerumuni orang. Ibu Arteria histeris di sana. Aku ikut berlari, menyeruak di sela kerumunan, dan melihat Sonia terbujur kaku di lantai dengan wajah berlumuran darah, baju koyak-koyak, dan rambut tercukur habis.

Tania duduk gemetaran bersandar ke dinding, dan matanya bergerak-gerak serabutan seperti menanggung rasa takut tak terperi. Di tangan kanannya, darah menetes satu-satu dari ujung gunting yang digenggamnya. Dini juga begitu. Matanya membelalak, bergerak liar. Kuku dan jari tangannnya berlumuran darah.

Aku menyelinap di sela orang-orang. Aku ingat pesan Ibu ketika kuraba saku rok dan kurasakan sepasang sarung tangan bersembunyi dengan aman di sana. 

"Maafkan Mehrin, Bu. Mehrin tidak suka Ibu dihina!"

/4/

Namaku Alzena Mehrin. Aku anak tunggal dari seorang ibu yang dicap istri simpanan lelaki tua kaya raya oleh teman sekelasku yang tadi pagi kuhabisi nyawanya. Sore ini aku pulang ke rumah dengan perasaan lega. Kudorong pintu pagar yang tidak terkunci.

Jantungku berdegup lebih kencang. Mobil ibunya Sonia terparkir di samping mobil ibuku. Jangan-jangan ibunya Sonia tahu bahwa aku yang membunuh putrinya. Aku menggeleng-geleng. Tidak mungkin. Polisi-polisi yang tadi memeriksa mayat Sonia sudah menentukan tersangka: Tania dan Dini. Bukti gunting, rambut, dan tubuh Sonia penuh dengan sidik jari mereka.

Maka, kugeleng-gelengkan kepala untuk mengusir rasa cemas. Di depan pintu aku terpana. Desah-desah aneh terdengar samar. Ketika pelan-pelan kubuka pintu, ibuku dan ibunya Sonia sedang bergumul di sofa merah marun. Tubuh mereka telanjang bulat.

Lututku gemetar. Tiba-tiba dadaku sesak. Petang ini, rasanya ingin kuhabisi ibuku dan ibunya Sonia.

Beranda Berahi | 01:00

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun